Perjuangkan Hak Komunal, Desa Waibao Belajar Dari Bali

Pemerintah Desa Waibao, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, melakukan kunjungan Studi Banding ke Desa Pakraman di Bali, salah satunya adalah Desa Kalibukbuk, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng, pada hari Senin (15/4/2019).
Balinetizen, Buleleng
Belum semua masyarakat hukum adat di Indonesia yang diakui sebagai subyek hak atas kepemilikan tanah. Desa Pakraman di Bali adalah salah satu yang telah mendapat pengakuan tersebut, selain Tengger dan Papua.
Atas dasar itu, pemerintah Desa Waibao, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, melakukan kunjungan Studi Banding ke Desa Pakraman di Bali, salah satunya adalah Desa Kalibukbuk, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng, pada hari Senin (15/4/2019).
Petrus Kelen selaku Kepala Desa Waibao menuturkan, Kunjungannya ini bertujuan untuk menimba pengalaman mengenai pengelolaan tanah adat dan realisasi hak komunal, sebagaimana pengalaman desa pakraman di Bali.
“Sebelumnya kami telah berkunjung ke Desa Taro, sekarang di Desa Kalibukbuk dalam rangka memperjuangkan suku-suku Desa Waibao agar mendapatkan kepastian hukum atas newa (tanah leluhur) yang telah dikuasai suku-suku secara turun temurun. Hak komunal inilah harapannya”, Kata Petrus.
Selanjutnya menurut Petrus, hak komunal ini dapat meminimalisir konflik tanah antar suku di Desa Waibao dikemudian hari. Karena kepemilikannya secara komunal, oleh karenanya bisa saling mengontrol satu sama lain dalam pengelolaannya. Selain memastikan tanah tidak berpindah kepemilikan juga menjamin agar sebesar-besarnya untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat Desa Waibao.
Kunjungan pemerintah Desa Waibao, diterima langsung oleh Kepala Desa Kalibukbuk, Ketut Suka bersama jajarannya. Selaku tuan rumah, Ketut Suka menegaskan bahwa proses pendaftaran hak komunal di Bali sifatnya instruktif, cenderung ‘top down’ mengikuti keputusan menteri dan arahan dari kantor pertanahan.
“Kami menjalankan teknis sebagaimana arahan kantor pertanahan, kemudian mengikutsertakan tanah desa dalam PTSL dengan dibantu relawan. Ini karena Desa Pakraman telah mendapatkan pengakuan sebagai subyek hak”, ungkap Ketua Forum Komunikasi Perbekel dan Lurah Kabupaten Buleleng ini.
Sifat top-down ini karena desa pakraman secara kelembagaan telah diatur dalam Perda No. 3 Tahun 2001 sebagaimana diubah dengan Perda 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman. Tinggal kemudian menunggu pengakuan sebagai subyek hak, yang baru terealisasi sejak terbitnya SK menteri ATR/Kepala BPN No. 276/KEP-19.2/X/2017 Tentang Penunjukan Desa Pakraman di Provinsi Bali Sebagai Subyek Hak Pemilikan Bersama (Komunal) Atas Tanah.
Berbeda dengan suku-suku yang masih ada di Desa Waibao, yang belum tegas pengaturannya terkait kelembagaan adat sebagaimana Desa Pakraman di Bali.
Menurut Ketua Tim Pendamping Pemerintah Desa Waibao, Ida Bagus Nyoman Dedy Andiwinata, S.H., perjuangan Desa Waibao masih di lingkup untuk mendapatkan pengakuan sebagai subyek hak dari pemerintah.
“Berbeda dengan Desa Pakraman yang telah diakui sebagai subyek hak, Desa Waibao dapat diibaratkan sebagai Bali 50 tahun lalu, dimana kelembagaan adatnya belum terinci dalam Perda sebagaimana Desa Pakraman hari ini di Bali.” Kata advokat asal Buleleng ini.
Selanjutnya menurut Dedy, “Usaha Pemerintah Desa Waibao sebagai perwakilan suku adalah bottom-up. Artinya permohonan dimulai dari masyarakat adat yang mengajukan ke pemerintah untuk mendapatkan pengakuan sebagai subyek hak terlebih dahulu, sebelum memohonkan hak komunal. Karena secara faktual, suku di Desa Waibao telah menguasai lahan tersebut turun temurun sebelum kemerdekaan Indonesia”. (hidayat)
Editor : Sutiawan
Baca Juga :
Hadir di Car Free Day Lumintang Denpasar, Mobil Konseling Denpasar Ceria Sedot Animo Warga untuk “Curhat”

Leave a Comment

Your email address will not be published.