Restu Jokowi Tidak Tentukan Ketua Umum Golkar

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto saat menandatangani pakta integritas dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta 19/2 lalu. (Foto dok. VOA/Fathiyah)

Meskipun tahapan pemilihan umum 2019 telah rampung, persaingan di dalam Partai Golkar, untuk memperebutkan kursi ketua umum, belum usai. Politikus Partai Golkar Rizal Mallarangeng membantah restu Presiden Joko Widodo menjadi penentu seseorang menjadi ketua umum.

Semua tahapan Pemilihan Umum 2019 sudah rampung. Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin terpilih sebagai presiden dan wakil presiden untuk periode 2019-2024.

Tetapi bagi Partai Golongan Karya (Golkar), kontestasi belum usai. Masih ada persaingan di dalam partai berlambang pohon beringin tersebut, untuk memperebutkan kursi ketua umum. Nama yang santer disebut akan bersaing menjadi Beringin satu adalah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bambang Soesatyo dan ketua umum petahana Airlangga Hartarto yang saat ini menjabat menteri perindustrian.

Tidak hanya adu kuat dukungan di daerah, faktor eskternal, seperti restu Presiden Joko Widodo, juga ikut menentukan siapa dari kedua kandidat kuat tersebut yang akan terpilih menjadi ketua umum Golkar berikutnya.

Namun dalam diskusi yang digelar di Jakarta, Sabtu (13/7), politikus Partai Golkar Rizal Mallarangeng membantah bahwa restu Joko Widodo menentukan seseorang menjadi ketua umum Golkar. Dia menegaskan, tidak ada kaitan antara perebutan kursi ketua umum Golkar dan dukungan dari Joko Widodo.

“Pak Jokowi kan tahu bahwa itu urusan internal partai. Tentu saja beliau akan sangat senang kalau partai Golkar bisa sepakat, bisa ini, bisa itu. Tapi kan beliau tahu posisinya, menyerahkan kepada Partai Golkar,” kata Rizal.

Rizal mengklaim, di bawah kepemimpinan Airlangga, Golkar dapat bekerjasama baik dengan pemerintahan Joko Widodo. Dia memastikan orang-orang Golkar dalam parlemen dan non-parlemen akan terus mendukung pemerintahan Joko Widodo untuk lima tahun mendatang.

Sebaliknya, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi melihat ketua umum Golkar selama ini berasal dari calon yang dekat dengan kekuasaan. Dia menambahkan, performa elektoral seringkali tidak menjadi variabel yang menentukan apakah seorang kandidat bisa terpilih atau tidak menjadi ketua umum Golkar.
Diskusi di Jakarta, Sabtu (14/7) membahas pemilihan Ketua Umum Partai Golkar. (VOA/Fathiyah)
Diskusi di Jakarta, Sabtu (14/7) membahas pemilihan Ketua Umum Partai Golkar. (VOA/Fathiyah)

Burhanuddin mencontohkan ketika Musyawarah Nasional Golkar pada 2005, setelah Pemilihan Umum 2004, Akbar Tandjung sebagai ketua umum berhasil membawa Golkar sebagai pemenang pemilihan umum. Namun dalam Musyawarah Nasional, Akbar gagal terpilih lagi memimpin Golkar.

“Jadi tidak ada penghargaan kepada Akbar Tandjung yang berhasil memenangkan Partai Golkar. Siapa yang menang? Wapres saat itu (Jusuf Kalla). Kalau dikembalikan sekarang, siapa di antara calon-calon itu yang paling dekat dengan Pak Jokowi, tentu yang paling punya peluang menang (menjadi ketua umum Golkar),” ujar Burhanuddin.

Dari sisi elektoral, di bawah kepemimpinan Airlangga Hartarto, walaupun perolehan suara Golkar menurun pada Pemilihan Umum 2019, tidak bisa dikatakan gagal.

Burhanuddin berpesan jangan sampai pemilihan ketua umum Golkar pada Musyawarah Nasional nanti menyebabkan pihak yang kalah sakit hati. Berdasar pengalaman, mereka yang ‘terluka’ kemudian pindah partai atau mendirikan partai baru.

Lebih lanjut Burhanuddin mengungkapkan sejak Airlangga membawa semua ketua Dewan Pimpinan Daerah partai Golkar se-Indonesia bertemu Joko Widodo, sebagian peserta musyawarah nasional sudah bisa menangkap kepada siapa Joko Widodo akan memberi restu untuk menjadi ketua umum Golkar.

Burhanuddin menekankan, Golkar dan Joko Widodo saling membutuhkan. Kalau tidak ada Golkar, posisi tawar Joko Widodo dalam internal koalisi tidak terlalu kuat karena Golkar pintar menempatkan diri sebagai “pelayan” Joko Widodo.

Pada sisi lain, Golkar membutuhkan Jokowi untuk terus merapat ke kekuasaan. Burhanudin menjelaskan, sejarah membuktikan Golkar tidak bisa jauh dari lingkaran kekuasaan. Ketika Golkar keluar dari kekuasaan, elektabilitasnya anjlok, seperti terjadi semasa kepemimpinan Aburizal Bakrie, tahun 2014-2015.

Menurut Burhanuddin, Golkar dapat berperan sebagai stabilisator dan memberi garansi keamanan dalam parlemen untuk memuluskan jalan pemerintahan Joko Widodo pada periode kedua. Dia menilai, posisi Golkar selama ini lebih loyal kepada Jokowi daripada ke mitra koalisi pada periode pertama pemerintahan Joko Widodo.

Pakar komunikasi politik dari Universitas Jayabaya Lely Arrianie juga menilai Presiden Joko Widodo cocok dengan Airlangga Hartarto. Dia mengisyaratkan Joko Widodo akan memberi restu kepada Airlangga untuk kembali memimpin Golkar.

Kubu Bambang Soesatyo mendorong agar Musyawarah Nasional Golkar digelar secepatnya sebelum Joko Widodo dilantik sebagai presiden untuk periode kedua. Sedangkan kubu Airlangga menginginkan musyawarah nasional dilaksanakan Desember tahun ini.(fw/ka) (VOA Indonesia)

Baca Juga :
Menyimak Kembali Gagasan Bali Provinsi Hijau

Leave a Comment

Your email address will not be published.