Keterangan foto: Aksi tolak reklamasi Teluk Benoa/MB
(Balinetizen.com) Denpasar –
Dalam media cetak Bali Post yang diterbitkan pada tanggal 21 Agustus 2019, pada berita yang berjudul: “RTRWP Bali Ketok Palu, Teluk Benoa Tetap Kawasan Konservasi” dijelaskan bahwa Ketua Pansus Rancangan Perda tentang Perubahan Perda Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali 2009-2029 (Ranperda Perubahan RTRWP Bali), I Ketut Kariyasa mengatakan, posisi Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi tidak diutak atik lagi dalam revisi Perda RTRWP. Ini meneguhkan kesepakatan dewan sebelumnya, sekaligus apa yang menjadi komitmen dan rekomendasi Gubernur Bali terpilih Wayan Koster. “Semestinya tidak ada istilah demo-demo lagi. Kita sudah sangan aspiratif sekali di dalam Pansus Tata Ruang”. Atas pernyataan tersebut, ForBALI (Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa) menanggapi sebagai berikut:
- Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU Tata Ruang) menentukan bahwa Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah propinsi, dan penataan ruang kabupaten kota dilakukan secara berjenjang dan komplementer. Penjelasan Pasal demi Pasal UU Tata Ruang menerangkan yang dimaksud “komplementer” adalah bahwa penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah propinsi dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota saling melengkapi satu sama lain, bersinergi, dan tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dalam penyelenggaraannya.
- Bahwa kewenangan Teluk Benoa adalah menjadi Pemerintah Pusat karena telah masuk sebagai kawasan strategis Nasional, sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan, sebagaimana telah diubah dalam Perpres Nomor 51 Tahun 2014. Perpres Nomor 51 Tahun 2014 mengatur Teluk Benoa ditetapkan sebagai kawsan budi daya zona penyangga, serta dapat dilakukan reklamasi. Lebih lanjut, Pasal 122 ayat (2) Perpres 51 Tahun 2014 pada intinya mengatur bahwa Sepanjang rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana rinci tata ruang provinsi dan kabupaten/kota di Kawasan Perkotaan Sarbagita belum ditetapkan dan/atau disesuaikan dengan Peraturan Presiden ini, digunakan rencana tata ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita sebagai acuan pemberian izin pemanfaatan ruang. Berdasarkan argumentasi tersebut, disimpulkan bahwa sekalipun DPRD Bali masih menetapkan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi dalam Ranperda RTRWP Bali, hal tersebut tidak menjamin Teluk Benoa aman dari ancaman reklamasi. Karena yang digunakan sebagai acuan pemberian izin pemanfaatan ruang adalah Perpres Nomor 51 Tahun 2014. Sehingga upaya DPRD Bali menetapkan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi Perubahan Perda RTRWP Bali adalah tindakan yang sia-sia dan tidak berguna.
- Bahwa semangat DPRD Bali untuk memperjuangkan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi pantas mendapat apresiasi. Namun itu saja tidak cukup bahkan terkesan untuk pencitraan DPRD Bali saja agar terlihat serius memperjuangkan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi. Padahal secara hukum tidak berguna.
- Seharusnya DPRD Bali melakukan tindakan yang tepat dan berguna untuk menunjukkan keseriusan DPRD Bali dalam memperjuangkan Teluk Benoa sebagai kawsan konservasi. Seperti DPRD Bali secara kelembagaan menggelar rapat paripurna untuk membuat keputusan menolak reklamasi Teluk Benoa, lalu DPRD Bali secara kelembagaan mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo agar kembali mengubah kawasan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 45 Tahun 2011. Selain itu, DPRD Bali juga wajib mengawal dan menjamin Teluk Benoa ditetapkan sebagai kawasan Konservasi Maritim hingga dokumen Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Bali ditetapkan sebagai Perda.
- Terkait dengan pernyataan “Semestinya tidak ada istilah demo-demo lagi”, adalah pernyataan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan karenaupaya DPRD Bali menetapkan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi di dalam Perubahan Perda RTRWP Bali adalah tindakan yang sia-sia dan tidak berguna. Seharusnya DPRD Bali malu dengan pernyataan tersebut, karena selama 6 (enam) tahun DPRD Bali tidak ada melakukan tindakan apa-apa. Sekali telah melakukan tindakan, malah melakukan tindakan yang tidak ada gunanya dan hanya untuk pencitraan DPRD Bali.
Denpasar, 23 Agustus 2019