Pengamat Asing: Harapan Jokowi akan Perkuat HAM dan Transparansi Memudar

Presiden Joko Widodo (depan kiri) dan Wapres Ma’ruf Amin saat memperkenalkan para anggota Kabinet barunya di Istana Merdeka, Jakarta (23/10).

Gareth Leather, pakar ekonomi senior Asia mengatakan, harapan bahwa Presiden Jokowi akan memperkuat HAM dan transparansi, sambil mendorong perekonomian yang terbuka supaya lebih bersifat global, kini tampaknya tidak akan terlaksana pada masa jabatan keduanya.

Indonesia adalah negara paling demokratis di Asia Tenggara, sehingga para pengamat politik mempunyai harapan tinggi bahwa Presiden Joko Widodo dapat menggalakkan penerapan hak-hak sipil dan transparansi, sambil mengarahkan ekonomi Indonesia secara lebih giat ke kancah perdagangan dunia. Namun, ketika Presiden Jokowi memasuki masa jabatan keduanya bulan ini, harapan-harapan itu pudar.

Meskipun Indonesia membedakan dirinya dari negara-negara lain dengan pers yang relatif bebas dan pasar yang terus berkembang, Indonesia tampaknya mengalami kemunduran dalam pemberantasan korupsi, mengembalikan proteksi ekonomi, dan menyaksikan ketidakstabilan di wilayah Papua yang ditandai oleh separatisme dan ketegangan-ketegangan etnis.

Dalam sebuah analisa mengenai masa jabatan kedua Jokowi, perusahaan riset investasi IHS Markit memperkirakan, reformasi ekonomi Indonesia yang tidak terpenuhi akan menyebabkan PDB sebesar 5 persen, lebih rendah dibanding target pemerintah sebesar 7 persen.

Pemberantasan korupsi yang mengalami perubahan dalam undang-undang telah memicu aksi-aksi protes di negara yang berpenduduk 260 juta orang itu. KPK yang selama ini dianggap lebih banyak aksi dari pada substansi, semakin berkurang kekuatannya ketika pemerintah membuat peraturan baru itu bulan September, dengan mengurangi waktu untuk menyelidiki tindak-tindak korupsi dan mengharuskan KPK minta izin presiden.

Pengamat ekonomi senior Asia, Gareth Leather menulis dalam ulasan Capital Economics, “Indonesia dinilai sebagai salah satu negara paling korup di kawasan ini dengan tingkat korupsi yang tinggi tetap menjadi penghalang utama bisnis asing.”

Baca Juga :
Keluarga Korban Ikut Pantau Pencarian Korban Terjatuh ke Laut Selat Bali

“Ada tanda-tanda bahwa pemerintah semakin lunak dalam janjinya untuk menumpas korupsi, dengan mengubah berbagai peraturan bagaimana KPK berfungsi,” lanjut Gareth Leather dalam tulisannya yang dimuat ‘Capital Economics’.

“Kami prihatin bahwa tindakan-tindakan itu akan memperlemah usaha KPK menyelidiki kasus-kasus tuduhan korupsi,” katanya.

Meskipun pemilu April yang memilih kembali Jokowi sebagai presiden di Indonesia adalah bebas dan adil, pemilu itu melibatkan pemberangusan ekstremisme Islam di negara mayoritas Muslim itu, yang selanjutnya bisa menggelincirkan negara itu pada pembatasan kebebasan berbicara secara lebih umum.

“Keputusan pemerintah Jokowi untuk mengambil garis yang lebih keras melawan ekstremisme disambut baik, tetapi ia perlu memastikan bahwa taktik yang digunakan tidak dianggap penindasan,” kata Nava Nuraniyah dari Institut Analisis Kebijakan Konflik di Jakarta.

Selain risiko dari perang dagang China-AS, Indonesia menghadapi risiko ekonomi di bidang pendidikan, proteksionisme, dan prasarana. Kita hanya perlu melihat proposal pembangunan kereta bawah tanah di Jakarta, yang sudah lama dibahas tetapi belum terlaksana, misalnya. Belanja pembangunan prasarana telah jatuh setelah berlangsung sebuah masa investasi yang giat, dan sektor-sektor logistik negara kepulauan itu berada di belakang Malaysia, Thailand, dan Vietnam dalam daftar Bank Dunia.

Indonesia masih memiliki ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan dengan demikian masih menarik bagi bisnis domestik dan asing. Ini juga merupakan masyarakat yang bebas untuk terlibat dalam wacana publik yang kritis, yang tidak kita saksikan di seluruh Asia Tenggara. Pertanyaannya adalah, apakah rakyat dan ekonomi Indonesia mampu memanfaatkan sepenuhnya potensi mereka.(ps/jm) (VOA)

Leave a Comment

Your email address will not be published.