Boeing 737 MAX Berhenti Produksi, Maskapai yang Terlanjur Pesan akan Rugi?

Pesawat Boeing 737 MAX di Renton, Washington, 16 Desember 2019. (Foto: dok). Boeing Co. menghentikan produksi pesawat jenis ini mulai Januari 2020.

Boeing Co menghentikan produksi pesawat jenis 737 MAX, setelah mendapat larangan terbang pasca kecelakaan pesawat Lion Air dan Ethiopia Airlines. Kedua kecelakaan fatal itu menewaskan seluruh awak dan penumpang pesawat. Lalu bagaimana nasib maskapai yang sudah terlanjur pesan pesawat tersebut?

Boeing Co memutuskan untuk menghentikan produksi pesawat jenis 737 MAX pada Januari mendatang. Boeing mengalami kesulitan untuk memperoleh persetujuan dari pihak berwenang AS agar larangan terbang pesawat jenis 737 MAX dapat segera dicabut.

Boeing 737 MAX adalah jenis pesawat jet penumpang single-aisle (Lorong tunggal) yang paling penting bagi pembuat pesawat yang bermarkas di Chicago, Illinois, Amerika Serikat. Diklaim sebagai jenis pesawat paling laris, Boeing 737 MAX telah dilarang terbang sejak Maret lalu setelah dua kecelakaan di Indonesia dan Etiopia. Kedua kecelakan itu menewaskan total 346 orang.

Pengamat penerbangan Alvin Lie menilai keputusan yang diambil oleh Boeing tersebut tepat. Karena jika produksi terus dilakukan, pihak Boeing tidak bisa mengirim kepada maskapai yang sudah terlanjur pesan. Pasalnya, Boeing 737 MAX tidak kunjung mendapat sertifikasi laik terbang. Potensi kerugian yang akan dialami oleh Boeing sudah pasti besar. Karena selain menghentikan produksi, Boeing juga akan mendapatkan denda.

Lalu bagaimana nasib maskapai yang sudah terlanjur pesan seperti Lion Air?

Alvin mengatakan penghentian produksi tesebut akan menghambat rencana pengembangan bisnis Lion Air dan maskapai-maskapai penerbangan lainnya yang sudah terlanjur memesan.

“Dampaknya adalah rencana pengembangan bisnis mereka pasti terhambat karena pembelian pesawat ini kan untuk memperkuat armadanya, menambah kapasitas, melayani rute baru atau menggantikan pesawat-pesawat lama,” ujar Alvin kepada VOA.

Pesawat Boeing 737-800 milik maskapai penerbangan Lion Air di bandara Padang, Sumatra Barat. (Foto: dok).
Pesawat Boeing 737-800 milik maskapai penerbangan Lion Air di bandara Padang, Sumatra Barat. (Foto: dok).

Upaya peningkatan efisiensi dengan mengganti pesawat-pesawat lama dengan yang baru juga akan terhambat, tambah Alvin.

“Pilot-pilot yang sudah disiapkan ini, yang seharusnya mereka bisa terbang, karena pesawatnya tidak deliver, mereka juga kehilangan jam terbang juga,” imbuh Alvin.

Baca Juga :
PRD Gelar Musyawarah Besar Rumuskan Solusi di Papua

Lanjutnya, agar bisnis Lion Air tidak terlalu berdampak signifikan, ia sarankan maskapai ini menyewa jenis pesawat lain. Hal itu agar armadanya terus diperkuat dan pelayanan kepada penumpang tidak terganggu, meskipun Lion Air harus merogoh kocek lebih dalam lagi untuk hal itu. Apalagi, menurut Alvin, Lion air pasti mendapatkan kompensasi dari Boeing.

“Kemudian Lion juga untuk pengembangan bisnisnya kemungkinan bisa menyewa pesawat lain, sembari menunggu 737 MAX ini atau mengalihkan ke jenis pesawat lain. Misalnya, ke jenis pesawat airbus 320 atau ke pesawat lain yang sekelas dengan 737 MAX ini,” kata Alvin.

Namun, kata Alvin, bila berpindah menggunakan pesawat buatan produsen lainnya, Lion Air harus mengeluarkan biaya pelatihan pilot yang cukup mahal. Bila beralih menggunakan Airbus A320, dari Boeing 737 MAX, menurut Alvin, butuh setidaknya setengah tahun untuk melatih pilot mengoperasikan pesawat Airbus.

Sertifikasi FAA

Sementara itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan bahwa pihaknya sampai saat ini masih menunggu proses sertifikasi upgrade maneuvering characteristics augmentation system (MCAS) Boeing 737 MAX oleh Badan Regulator Penerbangan Sipil AS (Federal Aviation Administration/FAA). Sampai saat ini, belum dapat ditentukan kapan proses sertifikasi akan selesai. Hal ini juga dilakukan oleh empat otoritas penerbangan lainnya, yakni Transport Canada, European Union Aviation Safety Agency (EASA), Agência Nacional de Aviação Civil (ANAC) Brazil, dan Civil Aviation Administration of China (CAAC).

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. (Foto: VOA/Yudha)
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. (Foto: VOA/Yudha)

Setelah mendapatkan hasil rekomendasi tersebut, baru pemerintah akan memutuskan apakah pesawat jenis 737 MAX yang sudah ada sekarang ini boleh terbang lagi atau tidak. Ia juga menekankan, bahwa Boeing Co kurang bertanggung jawab.

“Jadi, kita akan konservatif sekali terhadap yang 11 ini. Kalau yang baru pasti tidak dikasih. FAA di antaranya. EU. Ada juga dari Brazil. Kita kumpulkan. Kita punya tim sendiri. Belum ada rekomendasi apa-apa. Kita juga masih menganggap mereka (Boeing. Red) kurang bertanggung jawab,” ungkap Budi kepada VOA.

Baca Juga :
Kapolres Tabanan Silaturahmi Dengan Bupati Tabanan

Ditambahkannya, keputusan Boeing untuk menghentikan produksi MAX 737 sudah tepat, karena bagaimana pun keselamatan adalah nomor satu.

“Saya pikir satu koreksi yang bagus. satu industriawan bahwa yang namanya suatu industri aviasi, safety is number one. Jadi kalau itu failed, itu pelajaran yang mahal. Sehingga di masa mendatang ia sangat mengutamakan safety. Karena ini kan menyangkut orang banyak,” ujarnya.

Ia juga mengatakan bahwa yang paling banyak dirugikan akibat berhentinya produksi pesawat ini sudah pasti adalah Boeing Co sendiri. Bukan maskapai yang sudah terlanjur memesan pesawat tersebut. Ia pun tidak khawatir bahwa maskapai seperti Lion Air akan terhambat bisnisnya ke depan.

“Itu kan ada B to B, berarti ada langkah-langkah lah. Biasanya kalau begitu, ujungnya yang rugi si Boeing. Dia yang tanggung jawab semuanya. Rugi maskapainya? Nggak lah. Dia kan gak bayar leasing. Tergantung kontraknya ya. Kalau maskapainya jeli dia tidak akan kena dampak, tetapi kalau maskapainya tidak jeli, kontrak-kontraknya dimanipulasi. Ya susah,” jelas Budi.

Alvin Lie mengatakan bahwa pihak pemerintah tidak bisa hanya menunggu hasil proses sertifikasi dari beberapa otoritas penerbangan di berbagai negara tersebut. Menurutnya pemerintah harus aktif berkoordinasi dengan otoritas penerbangan itu untuk memantau perkembangannya. Bila perlu, kata Alvin hasil investigasi kecelakaan Lion Air JT 610 yang dilakukan oleh KNKT diikutsertakan untuk membantu proses sertifikasi itu.

“Pemerintah tidak hanya menunggu. Selama ini pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan aktif berkoordinasi dengan FAA, Otoritas Penerbangan Sipil Eropa, untuk memantau hasil investigasi mereka. Kemudian secara aktif memberikan masukan-masukan juga,” ungkap Alvin.

Dia juga mengingatkan hasil penyelidikan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) sangat dibutuhkan oleh FAA untuk menyertifikasi proses pembuatan pesawat Boeing, uji kelaikan terbang, hingga bisa dikeluarkan sertifkasi untuk terbang kembali.

Alvin menambahkan, kalau pun nanti 737 MAX diperbolehkan kembali untuk terbang, akan mempunyai tantangan tersendiri untuk meraih kepercayaan dari penumpang. Bisa saja, penumpang tidak akan mau naik jenis pesawat itu lagi, walaupun sudah dilakukan perbaikan-perbaikan.

Baca Juga :
RAPBD Badung 2021, Pertama Dievaluasi Gubernur Bali, Dirancang Jadi APBD Sehat, Logis, Konstruktif dan Produktif

“Untuk penumpang yakin untuk naik lagi pesawat itu butuh upaya psikologis yang luar biasa. Dan kalau penumpang ragu-ragu, airline juga akan ragu-ragu. Jangan-jangan nanti beli pesawat penumpang tidak akan mau naik pesawat. Itu kan repot,” ujar Alvin.

Hal itu, imbuhnya, akan berdampak pada investor, pemilik saham, dan harga saham untuk perusahaan yang sudah tercatat di bursa.

Pihak Lion Air Belum Mau Berkomentar

Corporate Communication Strategic Lion Air, Danang Mandala Prihantoro, belum mau berkomentar terkait berhentinya produksi pesawat jenis 737 MAX yang terlanjur sudah dipesan oleh Lion Air.

“Untuk saat ini saya belum bisa memberikan komentar alias no comment dulu ya. Nanti kalau ada info lainnya saya kabari,” ujar Danang kepada VOA.

Ia menjelaskan bahwa total pesawat yang sudah terlanjur dipesan mencapai sekitar 200 pesawat dengan berbagai tipe.

“Yang belum datang itu ada tiga varian. Ada MAX 8, Max 9 dan MAX 10. Kalau MAX 10 ada 50, kira-kira begitu. Totalnya ada sekitar 200-an,” jelas Danang.

Sementara itu, pesawat yang sudah datang masih belum dioperasikan, sesuai dengan pelarangan terbang yang diberlakukan oleh pemerintah. Danang mengatakan pesawat yang sudah datang terdiri dari dua pesawat 737 MAX 9 dan sepuluh pesawat 737 Max 8.

“Sebenarnya MAX 8 ada 11, cuma kemarin yang JT 610 itu. Jadi sisanya 10. Jadi masih didiamkan dulu sesuai dengan peraturan internasional itu,” paparnya.

Mobil teknisi dan pesawat Boeing 737 Max 8 milik maskapai penerbangan Garuda Indonesia di Fasilitas Maintenance Garuda AeroAsia, bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta, 13 Maret 2019. (Foto: dok).
Mobil teknisi dan pesawat Boeing 737 Max 8 milik maskapai penerbangan Garuda Indonesia di Fasilitas Maintenance Garuda AeroAsia, bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta, 13 Maret 2019. (Foto: dok).

Garuda Indonesia juga merupakan maskapai yang mempunyai pesawat jenis 737 MAX ini. VOA berusaha menghubungi Garuda Indonesia untuk menanyakan tentang pemesanan armada Boeing 737 MAX. Namun hingga berita ini diturunkan, Garuda Indonesia belum memberikan jawaban. Garuda Indonesia diketahui memesan 50 pesawat 737 MAX dan baru satu yang dikirim.

Dalam rilisnya pada bulan Maret 2019,disampaikan bahwa berkaitan dengan Surat Edaran Kementerian Perhubungan RI cq Direktorat Jenderal Perhubungan Udara perihal Temporary Grounded untuk pelaksanaan Inspeksi atas seluruh B737MAX yang beroperasi di Indonesia, maka Garuda Indonesia melakukan grounded atas pesawat B 737 Max (hanya satu unit) sejak (11/3) sampai pemberitahuan lebih lanjut. [gi/ft] (VOA)

Leave a Comment

Your email address will not be published.