Strategi Perang Melawan Corona dan Tantangan Untuk Bali

Oleh: I Gde Sudibya.
Stretegi ” perang “melawan Covid-19 harus dimenangkan, dan ada beberapa pihak mempertanyakan, kenapa orang dimenangkan segera, lakukan saja tindakan biasa rutin, business as usual, toh, badai pasti berlalu, dengan berjalannya sang waktu. Pertanyaan yang menggambarkan cara berpikir dan sikap kehidupan: rutin, linear, minim trobosan dalam tradisi kehidupan berciri kenyamanan dalam kurun waktunya yang panjang.
” Peperangan ” yang harus dimenangkan, paling tidak karena sejumlah alasan. Pertama, karena alasan kemanusiaan. Kemanusiaan, kematian bukanlah angka statistik tetapi “beyond of statistic”, karena nilai kemanusian tidaklah terukur – limetless values. Apalagi menyangkut kematian yang jumlahnya ratusan ribu. Di sini belum terhitung biaya kemanusiaan – human cost –  dari sanak keluarga yang ditinggalkan.
Kedua persoalan ekonomi. Persoalan Ekonomi ini akan memiliki dampak besar, mendasar dan implikasinya jauh ke depan, sebagai akibat dari meledaknya angka pengangguran, mandeknya pertumbuhan ekonomi yang berakibat nyaris mati surinya ekonomi, dan seluruh konsekuensi sosial yang dibawakannya.
Ketiga,  masalah kepercayaan. Kepercayaan ( trust ) kepada negara sebagai penyelanggara negara berpotensi mengalami kemerosotan, kalau gagal atau terlalu lama menanggulangi pandemi ini, dengan implikasi sosial politik yang menyertainya.
Keempat merosotnya kepercayaan kepada iptek,  lebih mendorong munculnya gerakan-gerakan anti iptek dengan pengikut yang terus membesar yang memberikan lahan subur bagi gerakan anti pengetahuan dan kepakaran dalam era yang disebut sebagai era pasca kebenaran ( post truth era ). Bahasa gampang dan terangnya, era kebohongan.
Beberapa bulan lalu kita menyimak berita: bagaimana sulitnya sejumlah negara mencapai kesepakatan untuk menindaklanjuti Kesepakatan Paris tentang penurunan suhu bumi dari 2 derajat Celcius menjadi 1.5 derajat Celcius, sebagai akibat satu negara besar menolaknya, konon landasan kebijakannya didasari oleh pemikiran anti iptek.
Dari pandangan para sejarahwan dan para filosof, turunnya kepercayaan pada iptek, merupakan proses awal kegelapan peradaban manusia.
Strategi Perang
Dalam strategi ” perang ” melawan Corona ini, menarik disimak pemikiran M Jusuf Kalla ( JK ) dalam Kompas (9/5) dalam artikel bertema: Segitiga Virus Corona. Menurut JK.belajar dari pengalaman: China, Korea dan Taiwan, perlu dilakukan jurus segitiga. Pertama, strategi bertahan disiplin masyarakat untuk tetap tinggal di rumah, jaga jarak  cuci tangan dan pakai masker.
Kedua, melakukan penyerangan melawan virus. Menyerang yakni mematikan virus dengan disinfektan di semua tempat yang punya potensi mengandung virus. Ketiga, Sistem penunjang kesehatan yang handal.
Dari sisi manajemen strategi, jurus segitiga JK.dapat dijabarkan bahwa petama ujung segitiga di atas: penyerangan, keseluruhan sumber daya secara optimal dipergunakan untuk melakukan penyemprotan besar-besaran disinfekten pada sebagian besar wilayah, minimal pada wilayah dengan risiko tinggi penularan. Dicontohkan: China, Korea Selatan dan Taiwan melibatkan tentara untuk melakukan penyemprotan, bahkan ada yang melakukan penyemprotan jalan raya.
Kedua.  yakni ujung segitiga bawah sebelah Kiri: Bertahan: diupayakan masyarakat mengikuti secara penuh protokol kesehatan yang berlaku. Ketiga, ujung segitiga bawah sebelah Kanan, sistem pelayanan kesehatan yang handal: tenaga pelayanan kesehatan yang sehat dan termotivasi, peralatan medis yang tersedia cukup untuk melindungi keselamatan mereka, apresiasi masyarakat terhadap “pahlawan tanpa tanda jasa ini”.
Dari strategi di atas, kegiatan penyerangan akan sangat menentukan efektivitas pembasmian pandemi, terutama dari sisi kecepatan, tetapi biayanya mahal, terlebih-lebih untuk Indonesia yang  wilayahnya luas.
Tantangan untuk Bali.
Menyimak strategi segi tiga di atas, dan fakta: wilayah Bali hampir secara keseluruhan, telah terbagi dalam: Banjar dan kemudian Desa Adat. Dalam pendekatan ilmu fisika: Banjar dan Desa Adatlah yang paling memahami ruang dan kemudian manusia di lingkungannya, terlebih-lebih dari perspektif kebudayaan. Sehingga strategi penyerangan ( butir 2 ), strategi bertahan ( butir 2) semestinya melibatkan secara maksimal sumber daya yang ada di banjar dan di desa.
Bentuk kerjasama Adat dan Negara di lapangan, disesuaikan dengan tuntutan situasi di lapangan dengan : Desa, Kala dan Patra. Di banjar dan desa yang sumber dayanya relatif kuat, seperti di daerah-daerah pariwisata, banjar dan desa ada di garda terdepan. Di wilayah-wilayah lain yang sumber dayanya sangat terbatas, peran penyerangan dan pertahananan diambil penuh oleh negara.
Dengan demikian, alokasi sumber daya ( masyarakat dan negara ) menjadi optimal, sekaligus menggambarkan sikap gotong royong dan paras-paros masyarakatnya. Strategi ” perang ” melawan pandemi ini diharapkan menjadi lebih metaksu ( cerdas dalam pemilihan strategi, melibatkan krama sesuai dengan kapasitasnya), diiringi dengan kepagehan seluruh krama Bali ngewangun yasa kerthi, kita boleh berharap, percaya dan yakin, Bali akan memenangkan “perang” ini.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, ekonom, konsultan manajemen, termasuk manajemen: krisis dan perubahan.
Baca Juga :
Program Askab PSSI Buleleng Terkendala Pandemi Covid-19, Kompetisi Sepak Bola Diharap Bulan September Mendatang

Leave a Comment

Your email address will not be published.