Pandemi: Norma Baru Kehidupan

Oleh: I Gde Sudibya
Berdasarkan data terbaru, pandemi Covid-19 telah menulari lebih dari 4 juta orang dan korban meninggal lebih dari  400,000 orang, di lebih dari 200 negara di dunia. Untuk Indonesia, curve pandemi masih tinggi dan  fluktuatif dengan trend ke atas, dan belum ada tanda-tanda secara epidemilogi untuk menurun.
Kompas (9/6) mengulas: rata-rata kenaikan kasus Covid-19 secara harian ( 7/5 – 7/6 ) di 34 provinsi dan 422 kabupaten/kota, dilaporkan 5 provinsi dengan rangking tertinggi: Jatim (151 kasus ), DKI Jaya (103 kasus), Sulawesi Selatan ( 39 kasus ), Kalimantan Selatan ( 34 kasus ) dan Jawa Barat ( 33 kasus ). Sedangkan Bali ada pada rangking 12, sama dengan Kalimantan Tengah, dengan rata-rata kasus per hari 10 orang terinfeksi.
Dari data di atas,  Jatim khususnya Surabaya Raya ( Surabaya, Gresik dan Sidoarjo ) menjadi episentrum penularan, menggantikan DKI Jakarta. Dalam curve pandemi seperti ini, posisi tinggi, fluktuatif dengan trend diperkirakan naik, terjadi pelonggaran sosial dan wacana serta program Normal Baru.
Diperkirakan kebijakan ini sangat beriko, dari 2 sisi penanggulangan pandemi dan upaya pemulihan ekonomi. Kita bisa simak pernyataan dari Ibu  Risma Walikota Surabaya, yang berkeberatan untuk perpanjangan PSBB. Surabaya Raya, karena beratnya kondisi ekonomi rakyat selama PSBB, walaupuan Walikota yang cerdas  dengan prestasi gilang gemilang ini, tetap dan sangat menyadari risiko penularan akibat pelonggaran sosial.
Tantangannya pasca Normal Baru adalah penyiapan dan pelaksanaan protokol kesehatan yang rinci dan ketat di lapangan, untuk meminimalkan risiko kegagalan
Belajar dari kasus Surabaya
Belakangan ini Jawa Timur mempunyai kasus tertinggi Covid-19, yang sebagian besar terjadi di Surabaya. Kompas ( 9/6 ) dalam Tajuknya berjudul: Menahan Ledakan di Daerah, memberikan info: hasil surveilans ada 30 kluster di 31 kecamatan di Surabaya, dengan pola penularan yang sangat dekat dengan masyarakat.  Ada kluster pasar, instansi, pabrik, mal dan bahkan penularan dalam keluarga.
Dikemukakan, banyak anggota masyarakat yang mengabaikan dan melanggar protokol kesehatan: memakai masker, jagak jarak fisik, larangan untuk berkerumun.
Belajar dari kasus Surabaya, kluster penularan yang begitu dekat dengan ke seharian kita, rendahnya disiplin dalam mengikuti protokol kesehatan, lemahnya pengawasan dan pemberian sanksi, serta wacana dan pelaksanaan Normal Baru, yang dipersepsikan oleh sebagian masyarakat bahwa keadaan sudah pulih seperti sebelumnya, membawa risiko penularan Covid-19 sulit untuk dibendung.
 Norma Baru Kehidupan
Menyimak besarnya permasalahan yang dibawakan pandemi ini, jumlah orang terpapar, risiko kematian yang mengikutinya , vaksin pembasmi yang belum ditemukan, besarnya cakupan dampak ekonomi yang menyertainya, sehingga pertanyaan yang terus menggantung: kapan pandemi Covid-19 ini akan berakhir?
Kalau dilakukan kilas balik kesejarahan terhadap pandemi sebelumnya, kita bisa menyimak pandemi kolera di Hindia Belanda sekitar tahun 1880’an yang diperkirakan menelan korban sekitar 10.000 orang,  dan baru berakhir sekitar 46 tahun kemudian. Pandemi Pes, tahun 1901dengan korban sekitar 190.000 orang dan baru berakhir  25 tahun kemudian. Pandemi Flu Spanyol 1918 – 1919  menelan korban sekitar  4.3 juta orang. Majalah Tempo edisi 18 – 24 Mei, tidak mengiformasikan berapa tahun pandemi ini baru berakhir.
 Dalam konteks ini, menarik untuk disimak pendapat yang disampaikan Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat, Ede Surya Darmawan dalam wawancaranya dengan Kompas (9/6): kita memerlukan norma baru, karena pola kehidupan kita selama ini telah gagal melawan Covid-19.
 Menurut Ede: norma baru ini harus dijalankan mulai dari tingkat individu, keluarga, layanan kesehatan dan pemerintah. Di level individu, protokol kesehatan menjadi keniscayaan, di level pemerintah, kesehatan masyarakat harus menjadi prioritas dengan pendekatan berbasis bukti ilmiah.
Kalau dijabarkan lebih jauh norma baru kehidupan, sebagai respons negara terhadap pandemi Covid-19 dalam perspektif jangka panjang, memuat kerangka rujukan.
Pertama, di tingkat individu warga negara, protokol kesehatan menjadi sangat penting, dan harus menjadi bagian ke seharian kehidupan. Sehingga individu dan kemudian masyarakat menjadi lebih siap untuk menghadapi pandemi apapun penyebabnya, yang bisa datang tiba-tiba, yang luput dari prediksi kita.
Kedua,  di tingkat negara dan kemudian pemerintahan, pemberian prioritas tinggi untuk isu-isu kesehatan: pendanaan, prioritas pendidikan kesehatan, lingkungan hidup sehat dan bersih, model dan arah pengembangan industri kesehatan, riset dan pengembangan teknologi yang berkaitan dengan kesehatan.
Ketiga, lahirnya dan dilahirkannya sistem nilai ( sosial values ) baru, yang lebih menghargai: pola kehidupan sehat termasuk penegakan disiplin, tindakan preventif untuk merawat kesehatan, penghargaan atau respek kepada alam. Penegakan totalitas kehidupan yang lebih bermartabat, seperti yang telah diteladankan oleh negarawan besar berkebangsaan India: Mahatma Gandhi: politik dengan prinsip, bisnis dengan moralitas, pencarian kekayaan melalui kerja, bukan korupsi,  pendidikan  berkarakter,  pengetahuan yang respek kepada kemanusiaan, pembatasan terhadap kesenangan,  pemujaan kepada Tuhan dengan kerelaan tulus untuk berkorban.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, ekonom, pengamat kecendrungan masa depan – trend watcher 
Baca Juga :
Presiden dan Ibu Iriana Lakukan Kunjungan Kerja ke Jawa Timur

Leave a Comment

Your email address will not be published.