Pandemi adalah Politik

Oleh: I Gde Sudibya

” Pandemi adalah politik. Sementara Covid-19, secara esensial adalah krisis kesehatan publik dengan dampak ekonomi yang massif, keputusan-keputusan politik dapat mempermudah penyebaran virus”.( Marie – Eve Desrosiers & Phillipe Lagasse),Kompas, 14/5.

Sebagaimana diberitakan oleh media, kasus positif Covid-19 di Bali mulai naik sejak tanggal 29/5 dengan 23 kasus. Berdasarkan data BNPB Bali rata-rata kasus per hari dari 29/5 – 10/6: 17, 3 kasus dibulatkan menjadi 17 kasus. Sedangkan rata-rata kasus per hari di bulan Mei: 8 kasus.
Ini berarti: rata-rata kasus selama 12 hari di atas  naik lebih dari 100 % dari rata-rata kasus selama bulan Mei. Kalau dibuat curve pandemi di bulan Mei sampai dengan 10 Juni, bentuk  curvenya fluktuatif dengan trend menaik. Ini berarti risiko pandemi semakin nyata dihadapi krama Bali dengan trend menaik. Sebagian besar berasal dari transmisi lokal, sumber virus yang tidak lagi jauh dari  kita. Bisa berasal dari klaster pasar tradisional, orang tanpa gejala ( yang telah menulari sejumlah petugas kesehatan ) dan sumber-sumber lainnya yang semestinya lebih dideteksi.
Pandemi adalah politik.
Netizen, sebelum kita mengulasnya mari kita simak pendapat dari Achmad Arief dalam Kolom Teknologi, Kompas ( 27/5 ).
” Kita saat ini dihadapkan pada pilihan sulit antara kesehatan dan ekonomi karena buruknya keputusan politik. Kita kehilangan waktu emas karena kegagalan penapisan selama Januari – Februari 2020, dan gagal mengarantina episenter wabah selama Maret – April “.
Lebih lanjut oleh penulis ini, disampaikan: kegagalan terus berlanjut dengan kebijakan PSBB berdasarkan himbauan, sehingga menjadi tidak efektif, disusul dengan kebijakan Normal Baru, yang belum memenuhi persyaratan WHO. Rangkaian dari kegagalan dan peristiwa yang menyertainya,  tampak terjadi: keraguan dan kegamangan dalam kebijakan Normal Baru, yang bisa melahirkan ketidakpastian baru  dari perspektif yakni upaya penanggulangan pandemi  dan pemulihan ekonomi. Di sini, rasanya pemerintah berada di persimpangan jalan.
Pamdemi adalah politik dalam pengertian bahwa keputusan penanggulangan pandemi Covid-19, bias ke pertimbangan politik ( disadari/tidak, disengaja/tidak ), sehingga program murni untuk penanggulangan  pamdemi berisiko untuk ” digandengkan” dan atau  dinomorduakan, sehingga efektivitas program menjadi tidak efektif dan bahkan bisa mengalami kegagalan.
Beberapa indikasi dari pandemi adalah politik dalam artian bias ke politik ( yang masih spekulatif ). Pertama,  tidak semua tali temali permasalahan tentang pandemi dibuka ke publik, sebagaimana dipersyaratkan dalam negara demokrasi yakni transparansi dan akuntabilitas, yang bisa memberikan negative image terhadap lembaga. Sebagai ganti dan imbangannya, ” diproduksikan” banyak success story, yang sebagian bisa diterima dan sebagian tidak, tetapi inti masalahnya, bisa menutupi persoalan besar dan atau potensi masalah besar ke depan.
Kedua, kesannya ( semoga kesan ini salah ), program terpenting penanggulan yakni test massif lengkap dengan uji petik yang terukur, dan tindak lanjutnya adalah penelusuran dan kegiatan lanjutan lainnya, untuk mengetahui berbasis data yakni cakupan pandemi, prediksi orang terpapar dan sistem penunjang kesehatannya, tidak mendapat prioritas tertinggi, karena ada kekhawatiran. Menurut pendapat seorang akhli epidemiologi, terbukanya data-data di atas bisa menimbulkan persepsi daerah yang bersangkutan dinilai gagal dalam menangani pandemi.
Ketiga, di era menjelang demam pilkada serentak 6 Desember 2020, ( yang banyak dikritik oleh kalangan masyarakat sipil dan penggiat demokrasi ), persepsi sebagian publik bahwa pelaksanaan program pembrantasan pandemi menjadi ajang promosi politik tidak bisa dihindari.
Dalam perspektif mikro kebijakan, dalam strategi manajemen industri, dikenal adanya ” stress test “, yang lazim dilakukan di industri perbankan, untuk menentukan daya tahan industri yang bersangkutan jika dihadapkan  pada krisis.
Analoginya bahwa pandemi Covid-19 merupakan stress test buat bangsa dan negara ini, terutama pemimpinnya, paling tidak dalam konteks tulisan ini, pada 2 isu penting.
Pertama, hindari betul politisasi dari kebijakan teknokrasi dalam penanggulangan pandemi  karena biaya ekonomi dan sosialnya amat sangat besar. Kedua, lebih cerdas, dan lebih hati-hati dengan pertimbangan matang dalam penentuan kebijakan Normal Baru. Dalam istilah bahasa Bali tidak kedroponan ( tidak gegabah ), dan tidak milu-milu tuwung ( ikut arus yang belum tentu cocok untuk kondisi kita ).
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik, berpengalaman sebagai konsultan strategi manajemen.
Baca Juga :
Menparekraf Intensif Sosialisasi Pedulilindungi Di Hotel, Resto, Kafe

Leave a Comment

Your email address will not be published.