Umat Hindu Harus Sadar : Banyak Umat Beralih Agama, Di Mana Pemda, PHDI dan MDA?

I Gde Sudibya
Perampokan atas simbol simbol agama Hindu Bali terus saja terjadi. Sejumlah tempat peribadatan umat Kristiani masih saja memakai simbol-simbol agama Hindu Bali.
Hal ini bukan hanya bentuk pelecehan, tetapi hal ini sudah perampasan simbol-simbol agama Hindu Bali. Dalam hal ini PHDI dan majelis adat harus menertibkan perampasan itu. Krama mesti dididik tentang makna simbol, termasuk yang telah melakukan migrasi. Penertiban ini perlu dilakukan untuk menghindarkan terjadinya kerancuan dan kekacauan simbol.
Fenomena dan kondisi perampasan simbol simbol agama Hindu Bali tersebut sudah berlangsung lama. Menurut catatan sejarah kondisi ini sudah terjadi sejak era tahun 30 ‘an.
Dua penyebabya kesulitan ekonomi akibat depresi besar tahun 30′ dan naiknya partai yang berbasis agama di Belanda yang mendorong misionarisme berlangsung gencar di Hindia Belanda. Terjadi perdebatan keras di Volkskraad lembaga DPR dengan pemerintah jajahan di Batavia tahun 1936. Salah satu anggota Volksraad dari Bali dengan suara lantang dan bahasa Belanda mantap melakukan penolakan keras program yang dimaksud.
Karena beberapa pertimbangan dan dinamika politik di Belanda waktu itu, maka program kristenisasi Bali dihentikan  dari Amsterdam. Misionaris tak pernah berhenti. Upaya untuk mengkristenisasi umat Hindu terus menerus dilakukan. Lembaga agama, adat dan pemda sepertinya tidak berdaya untuk mengatasi dan mencari solusinya yang tepat.
Dasawarsa tahun 60’an, terjadi kembali, banyak migrasi terjadi, penyebabnya paling tidak ada 3 hal yakni kesulitan ekonomi, terbatasnya pengetahuan warga dan gencarnya misi.
Bagaimana dengan kondisi sekarang? Hati-hati!!! Umat Hindu di Bali jangan mudah terprovokasi dengan saudara sendiri. Pandemi dengan tekanan ekonomi, beban adat yang berat, Lembaga PHDI yang kinerjanya terbatas dalam mengedukasi warga, tidak banyaknya Pasraman yang dikelola secara penuh, kebijakan ekonomi yang kurang menyentuh kelompok pinggiran: petani kecil, buruh tani, nelayan, pedagang kecil, pekerja srabutan, sedangkan beban upakara yang besar ( tanpa dipahami maknanya ), bisa kembali menjadi pemicu migrasi agama era tahun 30 ‘ an dan 60’an.
Tantangan Pemda, PHDI, MDA dalam menekan migrasi agama
Apa yang mesti dilakukan lembaga Agama dan Adat di Bali meminimalisir migrasi agama itu? Setidak ada lima langkah yang mesti dilakukan.
Pertama, peningkatan kesejahteraan masyarakat akar rumput, sehingga tidak terdorong atau tidak berminat untuk pindah agama.
Ucapan terkenal dari Svami Vivekananda: agama tidak diperlukan oleh orang yang perutnya lapar. Korespondensi Mahatma Gandhi dengan Rabinthranath Tagore sastrawan  pemenang hadiah Nobel: persepsi tentang Tuhan bagi orang miskin yang kelaparan, hanya sebatas niat baik dari orang yang memberikannya dia makan hari itu, sehingga mereka tidak kelaparan.
Pesan moralnya adalah karena alasan ekonomi orang mudah pindah keyakinan.
Kedua, tugas Pemda untuk menyusun program ekonomi  kerakyatan, tidak saja tolok ukurnya indikator ekonomi, tetapi juga indikator kesejahteraan  sosial – social welfare indicator – termasuk tidak adanya warga yang pindah keyakinan.
Ketiga, rendahnya pendapatan dan digabungkan dengan tingginya biaya untuk penyelenggaraan  adat dan upakara, bisa menjadi pemicu dari migrasi agama, semestinya PHDI dan juga MDA punya program khusus untuk menanggulangi persoalan ini. Terlebih-lebih pasca pandemi pendapatan masyarakat tergerus secara tajam.
Keempat, di tengah musim paceklik pariwisata ini, semestinya bertumbuh kesadaran bersama akan risiko pindah keyakinan di atas, masyarakat peduli, bahu membahu untuk meminimalkan kondisi memprihatinkan di atas.
Kelima, tumbuhkan kepercayaan bersama masyarakat yang mampu melakukan otokritik dan bahkan kritik diri yang keras, akan kenyal menghadapi perubahan dan selamat dari hempasan krisis. Dalam masyarakat Jepang dikenal istilah dan sistem nilai Hansei: refleksi diri dan kritik diri yang kuat nyaris tanpa kompromi. Jepang terbukti menjadi bangsa tangguh, maju secara ekonomi dan tetap berdiri tegak di basis budayanya. Siapa yang tidak kenal dengan Toyota, dengan Toyota Way nya, kultur bisnis berbasis budaya, yang menguasai industri otomotif dunia.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, Ketua Pusat Kajian Hindu ( The Hindu Centre ) dan Ketua FPD.( Forum Penyadaran Dharma ), Denpasar.

Baca Juga :
Pemkab Bangli Gelar Sosialisasi Banding Asministratif dari Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara (BPASN)

Leave a Comment

Your email address will not be published.