Akibat Epidemi Covid-19, Ekonomi Bali Paling Terpuruk

Ilustrasi.

Balinetizen.com, Denpasar-

 

Akibat epidemi Covid-19, ekonomi Bali paling terpuruk, disusul oleh DKI Jaya, Jogyakarta. Tumbuh negatif 10,98% di triwulan ke 2 (kalau dihitung secara tahunan ). Hal itu dikatakan pengamat Ekonomi dan Politik I Gde Sudibya, Selasa (29/9) dalam acara webinar kujungan kerja Anggota DPD Bali Made Mangku Pastika di Denpsar. Menyimak pertumbuhan ekonomi Singapura tumbuh negatif di triwulan ke 42,5%. Ekonomi Bali mirip dengan ekonomi Singapura, tergantung jasa, terhubung penuh  dengan sistem ekonomi global.

“Tolong pak Made Mangku Pastika sebagai perwakilan wilayah Bali suarakan lebih keras permasalahan ini agar pemerintah mengambil langkah yang lebih keras, serius, terfokus dan melibatkan seluruh sumber daya bangsa membasmi epidemi, meniru Tiongkok, Taiwan, Korea Selatan, ” kata Sudibya. Pada situasi ini, kata dia industri pariwisata Bali sangat berat, menuju kebangkrutan. Padahal SDM berkualitas, pungusaha inovatif dengan akses global ada di industri ini. Generasi muda krama Bali, pintar dan adaptif terhadap perubahan. Kalau industri ini bangkrut, habis karier mereka.

“Penyelamatan dapat dilakukan, dengan melobi secara keras: Kementrian Keuangan, OJK dan BI agar dana talangan kredit untuk mereka dan paket bantuan penyelamatan lainnya yang telah diatur dalam Perpu No.1/2020 Tentang Penanggulangan Pandemi dan PP yang menyertainya, segera direalisasikan dalam hitungan hari,: tandasnya seraya menambahkan dengan mengutip ucapan Presiden berkali-kali: ” jangan terlambat memberikan dana talangan, kalau terlambat mereka akan bangkrut, dan dana talangan tidak ada gunanya”.

Dikatakan, Epidemi Covid-19 telah melahirkan paragdima baru kehidupan, yang semestinya direspons dengan pendekatan mendasar yang baru. Dalam perspektif kepentingan Bali, ada sejumlah UU yang semestinya oleh DPD diusulkan untuk dirubah UU Pemerintahan Daerah Bali, UU Pertanian merujuk UU Pokok Agraria tahun 1960, Tap. MPR Tentang Reformasi Agraria dan Pelestarian Sumber Daya Alam, Pasal 33 UUD.1945 ( terutama yang asli yang tidak mengalami perubahan ), UU Pariwisata yang berbasis sistem nilai keadilan, pemerataan, penyelamatan alam, respek kepada budaya lokal, koreksi terhadap sistem ekonomi pasar berbasis kekuatan modal ( sistem kapitalisme pariwisata ).
Dikatakan, berdasarkan sensus pertanian terakhir jumlah petani berkurang 5 juta orang, dengan asumsi 1 keluarga petani terdiri dari 4 orang, berarti ada 20 juta warga negara yang tidak lagi dihidupi oleh sektor pertanian. Eksodus ini, semestinya menjadi wake up call/peringatan bagi pemerintah dalam kebijakan di sektor pertanian.

Baca Juga :
BKSDA Kalimantan Tengah Gagalkan Pengiriman Burung Ilegal

Para pengamat ekonomi pertanian pada umumnya bersepakat, eksodus ini sebagai akibat dari sektor pertanian tidak dapat lagi menghidupi mereka secara layak, sehingga mereka terpaksa pindah ke sektor jasa, perdagangan manufaktur dalam kategori sektor informal di perkotaan, karena minimnya ketrampilan yang dimiliki. Produktivitasnya rendah, perolehan pendapatan rendah dan tidak pasti, cendrung tidak tersentuh oleh kebijakan formal. “Akibat epidemi, sektor di atas mengalami penciutan dan stagnasi, mereka kehilangan pekerjaan, sehingga angka kemiskinan dan rentan menjadi miskin terus bertambah, katanya.

Dari publikasi data statistik oleh Biro Pusat Statistik dan pengamatan di pasar-pasar desa di Bali, perdesaan terus menurun perannya sebagai basis produksi ( pertanian dan manufaktur ) dan semakin menjadi basis kinsumsi. Artinya produktivitas petani perdesaan menurun, pada saat bersamaan “banjir” produk manufaktur perkotaan dan luar megeri semakin meningkat. Demikian juga ” banjir bandang ” buah impor. Pada sisinya yang lain laju inflasi perdesaan lebih tinggi dari perkotaan, maka lengkaplah penderitaan masyarakat petani di perdesaan. Yang konon” bermukim di hamparan sawah menguning, dengan nyiur melambai “. Ia menyebut, posisi tawar petani pada keseluruhan produknya: tanaman pangan, holikultura, buah-buahan, peternakan, sangat lemah berhadapan dengan para tengkulak, dalam mekanisme pasar yang sangat keras, sehingga posisi tawarnya terus mengalami kemerosotan. Negara tidak tampak hadir dalam mengatur persaingan, baca melindungi kepentingan petani.

Tawaran solusi jangka pendek, pertama Negara ĺebih hadir dalam pengaturan persaingan komoditas pertanian, memperkuat posisi tawar petani dalam menghadapi tengkulak, dengan menyiapkan staf di kantor kecamatan dan juga desa, yang tugas pokoknya memperbaiki posisi tawar petani menghadapi tengkulak. Kedua, meningkatkan kinerja lembaga keuangan mikro di desa, LPD. dan Koperasi, tidak sebatas pemberian kredit konvensional, tetapi juga memasok data informasi pasar.
Ketiga, setiap wilayah Kabupaten/Kota, Kecamatan dan bahkan desa, menentukan komoditas unggulannya, sehingga sumber daya yang ada difokuskan ke sumber daya unggulan, mulai dari penanaman, perawatan kebun, teknologi pasca panen dan pemasaran.

Baca Juga :
Hari Valentine, PKK Banjar Ujung Kesiman Gencarkan Gertak PSN Mandiri Cegah DBD

Tawaran solusi jangka menengah dan panjang. Pembentukan BANK PETANI, seperti BKTN ( Bank Koperasi Tani dan Nelayan ) yang kemudian berubah menjadi BRI., dengan fokus pasar masyarakat petani dan nelayan dan industri pengolahan produk pertanian. Karakteristik kredit dan produknya disesuaikan dengan katakteritik di sektor pertanian. Solusi jangka menengah lainnya yakni pemberian kreditnya dapat meniru pola Kredit Investasi, KMKP. ( kredit modal kerja permanen ), di awal tahun1970 an Pemeritah Orde Baru, yang memberikan sumbangan besar pada program swasembada beras dan sejumlah komoditas lainnya: kopi, karet, kakao cengkeh dan holtikultura. Mendorong inovasi pertanian sebagai respons terhadap krisis ekonomi akibat pandemi, dengan paradigma baru yang dibawakannya.

 

Editor : Sutiawan

Leave a Comment

Your email address will not be published.