Renungan Purnama Kelima : Waktu Kehidupan Kali Yuga, tidak pantas menyerah, karena menyerah berarti kekalahan

Oleh: I Gde Sudibya

Zaman Kali ( Kali Yuga ). Hari ini bulan penuh sasih kelima, rainan Purnama Kelima nemu rainan Tumpek Krulut, sasih kelima, Icaka 1942.

Rainan di masa pandemi, dengan ekonomi yang tertekan, berbarengan dengan hiruk pikuk politik: masa kampanye pilkada di tengah pandemi,  pro kontra seputar UU Cipta Kerja yang sebelumnya didahului oleh kontroversi dari revisi UU KPK, Minerba dan MK.
Terlepas dari  kita setuju dan tidak setuju terhadap rangkaian peristiwa politik di atas, rasanya kita boleh bersepakat dari bekerjanya hukum waktu yang dibawakan oleh zaman Kali ( Kali Yuga ). Hukum waktu yang menurut Manawa Dharma Sastra, tingkat kemurnian dan kesadaran rokhani insan-insan manusia hanya  pada pusaran 25 persen. Sehingga 75 persen sisanya, pikiran insan-insan manusia pada umumnya disesakpenuhi oleh ego, keakuan, ahamkara yang terikat nyaris secara penuh oleh kesenangan, kenikmatan duniawi di dunia maya ini.
Totalitas sistem kehidupan kita nyaris tunduk takluk pada pelipatgandaan keinginan, kepongahan akan keserakahan, kebohongan tanpa rasa malu bahkan menjadi kebanggaan. Upaya untuk melakukan rasionalisasi ( untuk mencarikan dalih pembenar ) terhadap penyimpangan prilaku yang melanggar etika moral dan bahkan pelanggaran hukum, menjadi bagian dari ke seharian masyarakat.
Dalam ranah politik kita mengenal diksi democrazy, prilaku politik ” gila-gilaan ” dengan menghalalkan semua cara, cukongkrasi, proses politik yang dibandari para cukong yang sudah tentu jauh dari cita-cita demokrasi.
Tradisi Bali Mula
Dalam tradisi Bali Mula, yang masih kental terasa pada sebagian masyarakat pengempon Pura:  Dalem Balingkang, Pucak Tegeh Penulisan, Pucak Sinunggal, Ponjok Batu, Segara Pegonjongan, lazimnya piodalan Purnama Kelima adalan piodalan ” penutup ” dari aed piodalan: Purnama Kasa, Ketiga, Kapat ( piodalan puncaknya ) dan Purnama Kelima.
 Piodalan Purnama Kapat ring Bulan Kartika, puncak yasa kerthi bhakti ke simbolik Tuhan sebagai Narayana, Wisnu, yang telah mengakar lama semenjak kepemimpinan raja besar Bali Cri Aji Jayapangus di akhir abad ke  10 dan di tahun tahun pertama abad ke 11. Raja yang melakukan tafsir cerdas berdimensi jauh ke depan terhadap peradaban dan kebudayaan Bali yang fondasi dasarnya diletakkan oleh Ida Rsi Markandya.
Piodalan ” penutup ” Purnama Kelima, yang diikuti ancang-ancang krama Bali pegunungan untuk mengolah lahan pertanian dan perkebunannya selama 5 bulan penuh, menuju puncak piodalan Purnama Kedasa.  Piodalan Purnama Kedasa: Neduh, Ngusaba Desa, Ngusaba Gumi.
 Lima bulan kerja penuh di lahan pertanian dan perkebunan ini, di puncak musim hujan Sasih Kenem, ” disisipi ” upakara Mecaru Tilem Kenem, yang maknanya kalau disederhanakan persembahan kepada Butha dalam perspektif Butha Hita ( Kesejahteraan bagi Alam  Raya dan seluruh penghuninya ).
Aed piodalan di atas, bekerja suntuk selama 5 bulan  di lahan-lahan pertanian dan perkebunan, dekat dengan alam dan membangun harmoni dengannya, merupakan cara masyarakat dengan tradisi Bali Mula menjaga keseimbangan kehidupannya.
 Bekerja suntuk di lahan pertanian dan perkebunan, membangun harmoni dengan alam, menjaga kelestariannya, dapat mengingatkan kita akan rangkaian ceramah Svami Vivekananda di Chicago 127 tahun yang lalu tentang Divinity of the nature: realitas Tuhan menjadi nyata jika keseimbangan dan kesucian alam terjaga.
Realitas rokhani yang sangat penting untuk untuk memfurikasi diri di tengah tekanan dashyat kekuatan hukum waktu Kali Yuga.
Keseimbangan diri dalam sastra kehidupan
Dalam jebakan keras hukum waktu kehidupan Kali Yuga, tidak pantas kita menyerah, karena menyerah berarti kekalahan. Kekalahan eksistensi  jiwa oleh keakuan, ahamkara. Memasuki lubang ” neraka ” derita yang bahan “bakarnya” adalah keinginan, keserakahan yang tidak ada batasnya.
Menyebut beberapa sastra kehidupan untuk membangun keseimbangan kehidupan:
1. Jangan pernah berhenti untuk melakukan yasa kerthi, mempertajam viveka,  pengendalian diri tapa, brata, proses menjadi jagra, melatih diri menuju vairagya,  pendakian rokhani: yama, niyama, asana, pranayama, praktihyara, dharana,dhiyana, samadhi.
2. Pertajam diri terhadap jebakan harta benda kehidupan, sebagaimana tertuang dalam karya kidung Parama Tatwa Suksma oleh Ida Pedanda Putra Kemenuh:
” Salah tarka salah parna, Napi Kasugihanne luwih, Boya artha raja burana  Wantah pikayunne luhur, Sadya waras werdhi guna, Dharma suci, Luwih wibawa, Bajra adnyana.
3. Kembangkan kearifan dan kebijaksanaan kehidupan, karena hal ini begitu penting penting dan mulya dalam menakhodai  kehidupan.
Termuat dalam sastra kidung Sucita-Subudi oleh Ida Kade Alit dari Griya Banjar, Buleleng:
” Kawikanan mamunahang pangering tambette jati, Sakancan laraning jagat, Yadin mala ngebek gumi, Kawikanan ngelebur sami, Wireh wikanne puniku, Panglukatan pabersihan, Miwah pengentase jati, Iku tuhu, Sariran Sang Hyang Wisesa.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, pengasuh Dharma Sala ” Bali Werdi Budaya “, Rsi Markandya’ Ashram, Br.Pasek, Ds. Tajun, Den Bukit, Bali Utara.
Baca Juga :
BAKTI Kominfo Buka Sinergitas bersama startup e-commerce & UMKM digital

Leave a Comment

Your email address will not be published.