Teknologi Canggih Minimalkan Resiko Air Keruh Saat Pengerukan pembangunan Terminal LNG

Dr. Ir. I Ketut Sudiarta, M.Si., Pakar Ahli Kelautan dan perikanan Laut

 

Balinetizen.com, Denpasar-

 

Kekhawatiran akan rusaknya terumbu karang akibat pembangunan terminal gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) di pesisir Desa Sidakarya, Denpasar tidaklah berdasar. Sebab zona areal perairan yang digunakan sepenuhnya memanfaatkan area bekas galian untuk reklamasi pulau Serangan (proyek PT. Bali Turtle Island Development/BTID) sebelumnya.

“Pengerukan (dreging) selanjutnya yang bertujuan untuk menambah kedalamannya dipastikan menggunakan teknologi canggih yang dapat mengurung kekeruhan air yang bercampur dengan lumpur sehingga meminimalisir kerusakan akibat proses pengerukan di laut.

Hal tersebut pernah sukses dilakukan saat pembangunan pelabuhan penyeberangan Bias Munjul di Pulau Nusa Ceningan, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali yang terbukti tidak adanya dampak kerusakan pada terumbu karang saat proses dredging

Hal tersebut dikemukakan oleh Dr. Ir. I Ketut Sudiarta, M.Si., Pakar Ahli Kelautan dan perikanan Laut dikediamannya di Denpasar, Minggu (26/6/2022).

Menurutnya, diseluruh zona pelabuhanterminal gas alam cair tersebut, diketahui dari Mertasari sampai Serangan bukanlah merupakan habitatnya terumbu karang. Dan sepanjang pengetahuannya, rute alur masuk kapal tidak terdapat juga habitat terumbu karang.

Sedangkan, zona yang rencana akan digunakan untuk melancarkan akomodasi kapal pengangkut LNG nantinya merupakan zona pelabuhan, yang sejatinya sudah mengantongi izin dan kajian lengkap untuk melindungi habitat laut seperti terumbu karang.

Berdasarkan data dan fakta, keberadaan terumbu karang justru ada di wilayah menghadap laut pulau Serangan dan wilayah laut Semawang, itu masih diluar alur masuk pelabuhan.

“Proses pengerukan (dredging) dipastikan aman dengan adanya tirai yang membentengi kekeruhan air dibandingkan dengan proses reklamasi yang dilakukan dengan melempar hasil kerukan tanpa filter pembatas itu yang bisa menimbulkan kekeruhan dana kerusakan terumbu karang,” terang Ketut.

Baca Juga :
Kematian massal ikan menimbulkan polusi udara di Danau Maninjau

Pengerukannyapun hanya menambah kedalaman 1 meter dari kedalaman 9 meter sebelumya dan menggunakan pengerukan yang sama bekas reklamasi pulau Serangan (proyek BTID) sebelumnya.

Lantas mengapa pembangunannya tidak berpindah menggunakan zonasi area kawasan pelabuhan kapal yang sudah ada di kawasan tersebut, karena faktor kedalaman yang tidak memungkinkan, lagipula kondisi alur masuk eksisting di pelabuhan Benoa tidak memungkinkan masuk kapal berukuran besar seperti kapal cruise tanpa meluruskan, melebarkan, & memperdalam alur dengan memotong karang di Tanjung Benoa.

“Kapal pesiar, kapal pengangkut LNG tidak bisa masuk, kalau tidak memotong terumbu karang (reef) yang ada di Tanjung Benoa. Mungkin masyarakat khawatir sisi visualnya (pemandangannya) bagi pariwisata, view dari daratnya namun dari sisi kelautan tidak ada masalah”.

Dirinya mengingatkan, bahwa sudah saatnya Bali sebagai kawasan pariwisata memiliki kemandirian energi yang akan menjadikan Bali sebagai provinsi terdepan yang menggunakan energi bersih yang ramah lingkungan dengan tidak bergantung pasokan energi dari wilayah lain.

Secara pribadi dirinya malah berpendapat bahwa di area sekitar terminal khusus LNG tersebut idealnya cocok untuk dijadikan kawasan pariwisata terpadu modern yang pengelolaan sepenuhnya diberikan oleh masyarakat sekitar sehingga perekonomian masyarakat menjadi lebih baik.

Seperti contoh pembangunan pelabuhan penyeberangan Bias Munjul di Pulau Nusa Ceningan, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali. Ia mengatakan tidak adanya dampak kerusakan pada terumbu karang.

 

Pewarta : Hidayat

Leave a Comment

Your email address will not be published.