Polisi menahan para pengunjuk rasa setelah bentrokan di Jakarta, 22 Mei 2019. (Foto: Antara via Reuters)
KontraS dan LBH Jakarta menuding pihak kepolisian menggunakankekerasan ketika menangani anak yang menjadi tersangka pelaku kerusuhan 22 Mei. Polisi juga dituding tidak mengindahkan upaya diversi yang dilakukan keluarga tersangka .
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menduga tim Polsek Metro Gambir dan Penyidik Polda Metro Jaya telah melakukan pelanggaran hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), dalam melakukan penyidikan tersangka pelaku aksi kerusuhan 22 Mei 2019 lalu.
Staf Pembela HAM KontraS Andi Muhammad Rezaldy mengatakan pelanggaran hukum tersebut diantaranya berupa penyiksaan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, serta penghalangan pendampingan keluargasaat pemeriksaan.
Berdasakan informasi yang diterima, Andi mengatakan ABH dengan inisial GL (17 tahun) dan FY (17 tahun) ditangkap di sekitar Polsek Metro Gambir pada dini hari tanggal 22 Mei 2019 dengan tuduhan terlibat kerusuhan dan melawan petugas.
“Setelah ditangkap, GL dan FY digiring dan dipaksa berendam di kolam yang kotor dan berwarna hijau. Sesudah direndam, GL dan FY dibawa ke dalam kantor dan dimasukkan ke dalam sel tahanan, tak selang begitu lama, mereka dikeluarkan dan mengalami sejumlah pemukulan, FY dipukul di bagian dada sebanyak tiga kali, GL dipukul dua kali, pertama di bagian dada, ke dua di bagian punggung, lalu setelah itu mereka kembali dimasukkan ke dalam sel tahanan bersama tahanan lainnya yang sudah usia dewasa,” ungkap Andi dalam konferensi pers di kantor KontraS, Jakarta, Jumat (26/7).
Tidak sampai disitu, kata Andi dalam proses awal penyidikan FY dan GL sama sekali tidak didampingi oleh pihak keluarga. Selain itu , sewaktu dilakukan Berita Awal Pemeriksaan (BAP) kedua remaja ini pun tidak didampingi oleh penasehat hukum. Ketika dilakukan BAP ulang, keduanya diberi penasihat hukum, namun Andi meragukan keabsahan penasehat hukum tersebut mengingatpihak orang tua/wali merasa tidak pernah menandatangai surat kuasa penunjukkan kuasa hukum itu.
Atas kejadian tersebut, KontraS dan LBH Jakarta menilai polisi melanggar pasal 64 huruf e UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak serta Pasal 3 huruf e UU No 11 Tahun 2002 tentang sistem peradilan pidana anak yang menyatakan setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakukan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya.
Selain itu, polisi juga diduga melanggar pasal 37 huruf a Kovenan hak-hak anak yang menjelaskan negara harus menjamin bahwa tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran penganiayaan atau perlakukan kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan.
Sampai saat ini, FY dan GL beserta delapan anak lainnya dititipkan di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani Jakarta. FY dan GL , kata Andi akan segera menghadapi persidangan dalam dua minggu ke depan.
Dalam kesempatan yang sama Pengacara Pubik LBH Jakarta Shaleh Al Gifary mengatakan bahwa polisi melakukan penahanan sewenang-wenang dikarenakan kedua anak tersebut sama sekali tidak terlibat dengan perbuatan yang dituduhkan oleh kepolisian yaitu melawan aparat dan melakukan kerusuhan. Selain itu, kata Gifar penahanan kepada FY dan GL yang dilakukan polisi sudah melewati batas yang ditentukan oleh UU.
“UU membatasi seperti di tingkat penyidikan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), UU no 11 tahun 2012 bahwa hanya dibatasi dua minggu. Seringkali argumen dari kepolisian untuk melebihi batas tersebut yaitu dititipkan di Panti. Tapi ini tidak benar juga, karena menurut KUHP ketika seseorang ditempatkan oleh penyidik di satu ruang tertentu dan dibatasi kemerdekannya itu masih penahanan. Jadi penempatan di panti itu semestinya masih dianggap penahanan menurut UU Sistem Peradilan Pidana Anak,” ujar Gifar.
Ditambahkannya, karena kasus ini tidak memenuhi ketentuan dan kewajiban yang diwajibkan dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak, sudah seharusnya kasus tersebut dihentikan dan gugur secara hukum. Menurutnya kekerasan dalam penyidikan terhadap ABH seharusnya tidak terjadi kalau polisi memperhatikan UU perlindungan anak, konven hak anak, serta UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
Berdasakan kasus tersebut, KontraS dan LBH Jakarta pun merekomendasi beberapa pihak agar kasus ini segera diselesaikan dan tidak terulang kembali. Pertama, menurut merekaKapolri dan Kasat Reskrim Mabes Polri RI segera melakukan penyidikan terhadap polisi dari kesatuan Polsek Metro Gambir yang diduga melakukan penyiksaan dan/atau kekerasan terhadap ABH dengan mengenakan pasal 76C UU No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman maksimal tiga tahun enam bulan penjara.
Kedua, Kapolri, Kasatreskrim Mabes Polri RI harus melakukan penyidikan terhadap penyidik Polda Metro Jaya yang menangani ABH perisitiwa hukum 22 Mei, atas dugaan tindak kejahatan penahanan sewenang-wenang oleh penyidik sebagaimana diatur dalam pasal 98 UU No 11 tahun 2012 tentang SPPA dengan ancaman penjara selama dua tahun.
Ketiga, Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dalam melakukan penyelesaian kasus terhadap ABH harus dapat menjamin hak-haknya selama proses penyidikan berlangsung dan harus mengedapankan upaya diversi dengan penyelesaian di luar peradilan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat 1 UU No 11 tahun 2012 tentang SPPA.
Keempat, Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta melakukan peninjauan atau penelitian kembali atas berkas perkara yang diberikan oleh Polda Metro Jaya, sebab penyidikan yang telah dilakukan diduga melanggar hukum acara dan HAM.
Kelima, Ketua KPAI harus melakukan pengawasan dan ikut serta membantu sepuluh ABH terkait peristiwa 22 Mei dalam mencapai kesepakatan dengan pihak kepolisian.
Menanggapi hal ini, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)Putu Elfinna kepada VOA mengatakan memang 10 anak yang saat ini masih berada di Panti Handayani di Jakarta merupakan anak yang gagal dalam upaya diversi, sehingga prosesnya dilanjutkan sampai tingkat persidangan. Maka mau tidak mau, kata Putu anak-anak tersebut harus menjalani proses persidangan. Selama prosesnya sesuai dengan Sistem Pidana Peradilan Anak, proses hukum tersebut seharusnya mengedepankan kepentingan anak, walaupun anak tersebut diduga terlibat dalam aksi kerusuhan 22 Mei lalu.
Terkait dugaan aksi kekerasan yang dilakukan penyidik dalam proses penyelidikan Putu mengingatkan, anak-anak itu mempunyai hak konstitusional untuk melaporkan hal tersebut dengan didampingi oleh penasehat hukum masing-masing. KPAI sendiri, menurut Putu, tidak dapat melakukan pendampingan karena bukan merupakan bagian dari fungsinya.KPAI. Namun KPAI tetap melakukan pengawasan dalam proses hukum tersebut. Apabila ada yang tidak sesuai dengan Sistem Peradilan Pidana Anak, maka pihaknya pun akan segera mengeluarkan rekomendasi kepada yang bersangkutan.
“KPAI tidak bisa melakukan pendampingan karena memang itu bukan fungsi KPAI, artinya kita tetap melakukan pengawasan. Dalam pengawasan itu, kita melihat bagaimana upaya yang sudah dilakukan dan KPAI akan menyurati kalau memang terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan pelaksaan UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Jadi bicara pendampingan, kita melihat bahwa dalam konteks peradilan pidana anak, pendampingan itu memang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkaitan satu sama lain,” ujar Putu. [gi/ab] (VOA)