Kurikulum Merdeka Belajar Ternyata Tak Dilandasi Suatu Naskah Akademik

 

Balinetizen.com, Denpasar –

 

Ternyata apa yang menjadi fokus dan diterapkan oleh dunia pendidikan selama ini terkait Kurikulum Merdeka Belajar yang diluncurkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim tidak memiliki naskah akademik yang seharusnya menjadi dasar kebijakan. Dan menjadi pertanyaan sejumlah pakar pendidikan.

Hal itu mengemuka dalam webinar terkait dunia pendidikan NGOPI SEKSI (Ngobrol Pintar Seputar Kebijakan Edukasi) yang dipersembahkah oleh ASUS dengan topik “KORUPSI DAN PUNGLI DALAM DUNIA PENDIDIKAN”.

Mantan Menristekdikti periode 2014-2019, Prof. Drs. H. Mohamad Nasir, Ak., M.Si. Ph.D. mengaku pernah mengusulkan agar terjadi link and match dengan melalui penguatan kompetensi, namun yang terjadi malah sering dijumpai ketidakcocokan program Merdeka Belajar, banyak siswa lulus dengan mengeluti bidang studi yang bukan kompetensinya. “Sehingga akhirnya dikhawatirkan malah timbul ‘lost generation’.

Seperti diketahui keberadaan masyarakat kita yang sangat heterogen harus selalu mendapatkan afirmasi dari pemerintah namun tidak bisa pemerintah membuat suatu kebjakan semaunya secara terpisah sendiri-sendiri, jadi haruslah mendapatkan keterlibatan pengawasan dari DPR, namun mirisnya dalam memulai program ini justru peranserta terkait inisiasinya, pihak dewan tidak dilibatkan.

Dirinya mengaku sering bertemu dengan para rektor dari seluruh Indonesia, namun ketika ditanyakan lebih jauh terkait implementasi program merdeka belajar, hampir semuanya mengatakan tidak mengetahui secara persis, “Bahkan mereka terpaksa harus mengikutkan program ini namun tidak faham kemana arahnya, mereka hanya menempelkan saja program ini karena sudah diwajibkan, kalau tidak ikut malah khawatir dikatakan melanggar”.

Narasumber dalam Webinar tersebut diantaranya adalah Ferdiansyah (Anggota Komisi X DPR RI), Prof. Drs. H. Mohamad Nasir, Ak., M.Si. Ph.D, (Menristekdikti periode 2014-2019), Ambara Putra, SH. (Ketua BMPS Provinsi Bali), Aulia Wijiasih (Pakar Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan) dan Heti Kustrianingsih (Ketua Forum Guru Honorer).
Webinar yang imoderatori oleh Indra Charismiadji (Vox Populi Institute Indonesia) dan Ki Bambang Pharmasetiawan (NU Circle) memang sangatlah menarik untuk diikuti sebab mengalir berbagai pendapat kritis yang terlontar terhadap kebijakan Mas Menteri yang memulai kebijakan suatu sistem program Merdeka Belajar tanpa didahului dengan suatu kajian ilmiah berupa naskah akademik yang komprehensif.

Baca Juga :
Bali Diterjang "Badai", Menjelang Piodalan Bhatara Turun Kabeh di Besakih, Purnama Kedasa

“Sehingga yang terjadi banyak kesimpangsiuran implementasi di lapangan terkait halnya tidak menghitung siapa yang dijadikan beban pelaksanaan, juga terkait ‘leveling’ berkenaan apabila ada siswa dari universitas tertentu akan melaksanakannya di kampus ITB, pasti kampus yang terbilang sudah masuk dalam kategori World Class University (WCU) agak risih dimasuki oleh siswa dari kampus yang masih ecek-ecek yang akreditasinya C, juga nantinya pasti terdapat perbedaan dalam masalah pembayaran UKT nya, pihak mana yang mau menanggung hal tersebut?” tutur Narsum dari Anggota Komisi X DPR RI, Ferdiansyah.

Intinya, para pakar pendidikan hampir semuanya sepakat bahwa kebijakan dari program Merdeka Belajar tidaklah tepat atau bisa dikatakan ‘salah’ sebab faktanya banyak terjadi ketidaksesuaian dan tidak melihat situasi dan kondisi realitas di lapangan.

Pihaknya berpendapat bahwa kelemahan terbesar dari Kemendikbudristek terletak dalam hal pengawasan dewan, dan memang sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa DPR tidak boleh lagi masuk ke ranah Satuan Tiga, sehingga dana APBN yang berasal dari negara yang sekonyong-konyong akhirnya menjelma menjadi suatu kebijakan yang cenderung berpotensi koruptif menjadi tak bisa lagi diawasi.

 

Pewarta : Hidayat

Leave a Comment

Your email address will not be published.