Krisis Konstitusi, dan Masa Depan Demokrasi Berbasis Konstitusi

Oleh : Jro Gde Sudibya

Design perubahan UUD 1945 menempatkan Mahkamah Konstitusi mempunyai peran sentral, sebagai garda terdepan (avant gaarde) penjaga konstitusi, dari risiko salah guna kekuasaan oleh pembuat Undang-Undang, Pemerintah dan DPR.
Sebagai “pembumian” dari pasal 1 ayat 1 UUD 1945 (pasca perubahan) ” Negara Berdasarkan Hukum”.

Suasana kebatinan dari anggota Badan Pekerja MPR RI dalam perumusan perubahan sangat jelas, hasil dari Gerakan Reformasi, Kita bersama ingin membangun demokrasi berbasis pada hukum (baca konsitusi). Di sini peran sentral dari Mahkamah Konstusi yang dilahirkan dalam perubahan UUD 1945.

Hanya saja MK tidak mampu menjalankan peran kesejarahan penting ini, al.akibat dari: terkooptasi oleh kepentingan politik kekuasaan, bahkan ada pengamat menyebutnya “menghamba” kekuasaan, tidak amanah menjalankan peran mulya ini, tergerus sikap kenegarawanan (yang menjadi persyaratan penting sebagai Hakim Konstitusi).

Beberapa bukti dari pernyataan MK yang Mencla mencle.
a.Keputusan yang tidak konsisten “mencla-mencle” (sesuatu yang semestinya tabu, “haram” bagi profesi hakim pada umumnya):
a.Menolak pengajuan perkara tentang minimum treeshold 20 persen dalam persyaratan bagi partai dan gabungan dalam pengajuan capres dan cawapres, dengan alasan tidak punya kewenangan untuk itu. Tetapi dengan enteng, meloloskan pengajuan perkara dan segera memutuskan persyaratan capres dan cawapres dengan usia sekurang-kurangnya 40 tahun atau telah menduduki jabatan kepala daerah. Pengambilan keputusan yang juga diwarnai oleh pelanggaran etika oleh seorang hakim konstitusi, karena diduga kuat adanya “conflict of interest”.
b.Keputusan meloloskan Omnibus Law Cipta Kerja yang sebelumnya berbentuk Perpu menjadi Undang-Undang. Padahal Keputusan MK sebelumnya, terhadap Perpu Cipta Kerja sebelumnya, dibatalkan secara substansial oleh MK. UU Cipta kerja yang sarat kontroversial, UU yang berlabel Cipta Kerja ditentang keras oleh masyarakat buruh, menurut para pengamat memberikan “karpet merah” dan sangat memanjakan investor. Omnibus Law Cipta Kerja yang menggabungkan puluhan UU, yang mempunyai latar belakang: sejarah, sosiologi dan filsafat yang berbeda, digabungkan secara sembrono, tanpa melakukan kajian cermat terhadap seluruh pasal-pasal dalam UUD 1945 yang semestinya dijadikan rujukan: kesejarahan, tuntunan etis dan orientasi kefilsafatan. Hanya untuk “mengabdi” kepentingan investor, tanpa kajian studi pembangunan yang bertanggung jawab dengan visi masa depan.
Telah terjadi krisis di MK, Kita tidak bisa membayangkan masa depan demokrasi berbasis Konsitusi, jika MK menjadi “penghamba” kekuasaan, padahal seharusnya menjadi penjaga (avant gaarde) kekuasaan melalui pengabdianya yang suntuk menjaga Konsitusi. Dalan fenomena umum politik, dimana kekuasaan riil banyak dikendalikan oleh para oligarki (politik dan ekonomi), kekuatan modal dalam kompetisi politik, dalam bentuk “money politic” tersistim, terbuka dan tertutup, kita manjadi tidak bisa membayangkan profil demokrasi Indonesia ke depan. Peristiwa 71 tahun lalu, 17 Oktober 1952, para tentara mengepung Istana di Jakarta, atas perintah Panglima Angkatan Darat Jendral Nasution dan 7 Komandan Militer, dan bahkan panglima Jendral Kemal Idris memerintahkan prajurit untuk mengarahkan moncong meriam ke arah Istana dengan tuntutan pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat Sementara. Peristiwa ini pantas dijadikan dijadikan perenungan dan bahan pelajaran bagi para elite politi di negeri ini.

Baca Juga :
Sidang MK, KPU Ragukan Bukti Amplop Diserahkan Saksi

Jro Gde Sudibya, anggota Badan Pekerja MPR RI 1999 – 2004.

Leave a Comment

Your email address will not be published.