Politik Dinasti, Bentuk Buruk dari Demokrasi Prosedural

 

Oleh : Jro Gde Sudibya

Dengan ditetapkannya Gibran sebagai Cawapres dari KIM secara “super” kilat, dari sisi etika politik dan prilaku pilitik dapat dijelaskan secara sederhana sbb.:

Pertama, proses pencalonan yang didahului melalui rekayasa hukum oleh paman Gibran Anwar Usman sebagai Ketua MK bentuk pengkhianatan serius terhadap konstitusi.

Kedua, politik dinasti dalam demokrasi prosedural (demokrasi seolah-olah), secara etika menggambarkan kehausan akan kekuasaan dari Jokowi, mungkin akibat dari “candu” kekuasaan yang begitu memabukkan.

Ketiga, politik dinasti bisa melahirkan malapetaka demokrasi, kompetisi politik yang tidak imbang dan tidak adil, akibat penguasaan sumber daya yang luar biasa dari penguasa, yang bisa berujung ke khaos sosial.

Keempat, pencalonan “super kilat” Gibran, dengan dukungan kekuasaan, memberikan gambaran telak berupa partai telah gagal dalam kaderisasi dan regenerasi, total “tunduk takluk” pada niatan merengguk kekuasaan. Semua partai ingin menang dalam kompetisi dan memperoleh kekuasaan, adalah syah dan wajar. Tetapi apa yang berlangsung sekarang di negeri ini, melewati kepantasan, dan bentuk nyata dari politik menghalalkan semua cara.

Membangun demokrasi dengan kualitas partai yang “kocar-kacir” adalah sebuah fatamorgana dan bahkan ilusi. Dalam konteks ini, ada panggilan kesejarahan dari gerakan kekuatan rakyat (people power) -dalam koridor konstitusi-, untuk melawan dan membalikkan kekuatan destruktif dari politik dinasti. Dalam bahasa para filosof, sejarah “mengetuk pintu” anak-anaknya untuk menyelamatkan Ibu Pertiwi dari cengkraman semakin dashyat kekuatan oligarkhi. Kekuatan rakyat harus dimenangkan.

Jro Gde Sudibya, “juru bicara” spiritualisme dan intelektualitas Sang Putra Fajar.

Baca Juga :
Bupati Giri Prasta Buka Lokasabha I Maha Gotra Tirta Harum Kabupaten Badung

Leave a Comment

Your email address will not be published.