Peringatan Keras Pemanasan Global, Tantangan Kepemimpinan Bali ke Depan

 

Pemanasan global yang berdampak terhadap krisis iklim begitu nyata: bencana alam hidrologi (banjir, rob), dan penurunan produktivitas di sektor pertanian dan kehutanan.

Dalam konteks ini menarik disimak, laporan terbaru dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) yang bertema: “State of Global Climmate 2023″ dalam Kompas (21/3).

Dilaporkan oleh lembaga ini: ” Tingkat gas rumah kaca, suhu permukaan, panas dan pengasaman laut, kenaikan permukaan laut, lapisan es laut Antartika dan penyusutan gletser telah mencapai rekor tertinggi sepanjang tahun 2023.

Kondisi ini telah memicu gelombang panas, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, badai tropis, dan gagal panen yang berdampak pada jutaan orang dan menimbulkan kerugian ekonomi miliaran dolar AS”.

Laporan ini juga mengemukakan, kondisi rawan pangan di tingkat global meningkat dua kali lipat, 149 juta orang di 78 negara sebelum pandemi, menjadi 333 juta orang di tahun 2023. Kondisi rawan pangan ini, bisa berarti penduduk yang terancam risiko kelaparan.

Krisis iklim begitu nyata, menjadi bagian dari ke seharian Kita, anomali musim, bencana alam yang datang silih berganti dengan magnitude dan kerugian yang semakin membesar, plus produktivitas pertanian terutama tanaman pangan yang merosot, menimbulkan inflasi pangan dan kelangkaan di pasar.

Tantangan Kepemimpinan Bali ke Depan.
Kepemimpinan: Gubernur, Bupati, Wali Kota, anggota DPR, DPD, DPRD,Camat, Perbekel dan Bendesa Adat, membumikan etika kehidupan Tri Hita Karana dalam praktek, mulai dari kebijakan, keputusan teknis teknokratis dan implementasi di lapangan.

Menyebut beberapa dari Tantangan Kepemimpinan Bali di atas, pertama, adanya kesamaan persepsi dari “stake holders” di atas, sehingga Tri Hita Karana diwujudkan dalam: Perda, keputusan eksekutif, hasil “perarem” di masing-masing Desa Pakraman.

Baca Juga :
Badung Gencarkan Sidak Prokes, Saat Libur Panjang Berhasil Jaring 38 Pelanggar di Wilayah Seminyak

Kedua, Perda RTRW Bali 2023 – 2043, semestinya dikaji ulang, dengan memasukkan nilai-nilai operasional Tri Hita Karana, dengan dimensi penyelamatan: Subak (membatasi konversi lahan pertanian ke industri), penyelamatan dan pelestarian hutan dengan cetak biru yang lebih jelas.

RTRW Bali lebih berbasis kebudayaan Bali, tidak didominasi dan terkooptasi oleh kepentingan sempit kapitalisme pariwisata. Ketiga, perumusan kembali cetak biru Pariwisata Bali pasca pandemi, dan menyongsong era baru geo politik dan ekonomi global, melalui kerja sama yang lebih intensif antara: eksekutif, legislatif, pelaku industri pariwisata dan kalangan universitas, untuk menjamin keberlanjutan pariwisata dalam perspektif kebudayaan Bali.

I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi pembangunan dan lingkungan.

Leave a Comment

Your email address will not be published.