Ilustrasi
Balinetizen.com, Denpasar
Wacana terhadap RUU tentang Masyarakat Hukum Adat sudah terlalu banyak (“inflasi” wacana) sebatas politik pencitraan, tetapi faktanya pembahasan RUU telah lama “mangkrak” dalam proses legislasi di DPR.
Hal itu dikatakan Jro Gde Sudibya, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999 – 2004, pengamat kebijakan publik, Jumat 8 Agustus 2025.
Dikatakan, atas ketidakseriusan wakil rakyat dan pemerintah mengurus aset budaya ini, maka korbannya terus berjatuhan.
Menurut laporan KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), korban masyarakat adat terus berjatuhan akibat pemberian IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang tidak bertanggung-jawab.
” Ada sekitar 5 juta Masyarakat Adat yang “terkatung-katung” di “rumah” adatnya sendiri,” kata Jro Gde Sudibya.
Dikatakan, kondisi di Papua lebih memprihatinkan. Dengan pendirian 4 provinsi baru yang mendadak tergesa-gesa, kesannya akan “menjarah” lebih massif kekayaan SDA Papua, akan melahirkan mala petaka lingkungan di Bumi Cendrawasih.
Dari liputan investigasi Majalah Tempo, pembukaan lahan seluas 2,2 juta hektare di Kabupaten Merauke, untuk program tanaman pangan dan gula, diperkirakan akan merusak lingkungan lebih parah.
Dikatakan, dengan “berpayung” pada UU Cipta Kerja tahun 2022, yang memanjakan investor, Amdal tidak lagi diperlukan, bisa disusun belakangan sekadar memberikan pembenaran terhadap proyek yang sedang berjalan. Meniru proyek IKN yang sarat masalah.
“Ke depan kita akan menyaksikan, proses penghancuran lingkungan massif atas nama negara yang berlindung pada UU (yang direkayasa untuk itu),” katanya.
Dikatakan, ketegangan sosial akan semakin memuncak di Papua, dan belahan bumi Nusantara lainnya.
Intelektual ternama India Sarveli Radhakrishnan, penulis buku ternama Indian Philosophi, menulis: tanpa keadilan tidak ada stabilitas sosial. Stabilitas sosial diperlukan sebagai dasar perdamaian. Perdamaian diperlukan, sebagai basis pengembangan kedamaian di hati.
Dikatakan, tanpa visi kenegarawan para pemimpin, nyaris pasti negeri ini memasuki risiko ke tepi jurang kehancuran. Miris dan memprihatinkan.
Dikatakan, Bali menunggu “gilirannya” setelah Papua. Dengan Perda RTRW 2023 – 2043 yang “berpayung” pada UU Cipta Kerja yang super liberal kapitalistik, dengan resentralisasi kebijakan yang dashyat, hutan Bali akan semakin banyak “dibabat” atas nama: pembangunan, modernisme, globalisme dan jargon-jargon lainnya.
“Padahal kondisi lingkungan Bali sudah super gawat, kenaikan suhu permukaan Bali selama 70 tahun terakhir (1950 – 2020) mencapai 1,9 derajat celsius, sedangkan dalam Kesepakatan Paris (2016) kenaikan suhu yang dapat ditoleransi 1,6 derajat celsius,” kata Jro Gde Sudibya.
Dikatakan, rasio hutan Bali di posisi “lampu merah”, idealnya minimal 30 persen wilayah Bali dengan tutupan hutan.
“Sekarang rasio hutan menurut pakar lingkungan tinggal 18 persen. Bali dalam kondisi menuju Darurat Lingkungan,” kata Jro Gde Sudibya.
Jurnalis Nyoman Sutiawan