Balinetizen.com, Denpasar –
Oleh : Prabhumayo Aji*
Malam itu, Sabtu, 11 Oktober 2025. Lapangan Puputan Margarana Niti Mandala Denpasar riuh dentuman musik. Ratusan sepeda motor terparkir di pinggir jalan. Banyak orang berjalan menuju panggung pertunjukan.
Kontras dengan hingar bingar itu, sekitar 300 meter dari lokasi itu, seorang pegawai laki-laki, tenaga kontrak penjaga malam kantor, duduk di balai pos jaga sebuah kantor penting pemerintahan. Dia menatap setiap sudut kantor besar yang dia jaga. Tak ada media hiburan di sana. Tidak televisi, pun tidak radio. Layar pemantau cctv untuk memantau situasi kantor secara digital juga tidak ada.
Di pos jaga itu juga tidak tampak wadah air minum. Tidak ada termos pemanas air jika sewaktu-waktu dia dan rekan petugas jaga malam lainnya ingin minum kopi atau teh untuk menghalau dinginnya malam. Beryukur masih ada beberapa ekor anjing yang setia menemani tanpa banyak kata.
Di pos penuh makna namun “kering” itulah, lelaki setengah baya – pegawai penjaga malam itu – melaksanakan tuganya sejak 15 tahun lalu. Di malam minggu itu, dia ditemani seorang rekannya yang masih muda, sesama petugas penjaga malam.
Pukul 19.00 Wita saya memenuhi janji, yang saya sampaikan sehari sebelumnya, untuk bertemu lelaki itu, berdiskusi tentang apa saja untuk pertama kalinya. Sebuah diskusi tanpa rencana karena sama sekali tidak ada rencana akan melangsungkan diskusi sebelumnya. Diskusi itu berawal kesalahpahaman atas unggahan bertema “Bali seperti Betawi” yang saya bagikan di grup whasapp kantor. Sebagai salah satu warga komunitas media sosial kantor, Pak Karya (sebut saja begitu), menanggapi sensitif unggahan yang saya bagikan. Dia merasa tersentuh dan “menantang” berdiskusi.
Saya penuhi “tantangan” itu. Bukan untuk berdebat, melainkan untuk mencoba memahami dan menjembatani. Naluri saya mengatakan, “tantangan” diskusi ini mengandung sesuatu yang penting dari sisi komunikasi. Apalagi dari komentar chat yang dia tulis mengarah pada gaji yang belum cair.
Setelah mengucap panganjali, dan diskusi berjalan sekitar 30 menit, di luar dugaan, pertemuan yang awalnya tegang, berubah menjadi ruang curhat yang jujur dan mengharukan. Dia bercerita panjang tentang kehidupannya selama 15 tahun menjadi penjaga malam. Tentang jarang berinteraksi dengan para pegawai, tidak mengenal siapa pimpinan baru, dan tidak tahu banyak tentang kegiatan kantor yang sebenarnya dia jaga setiap malam.
Dari kisah itu, saya tersadar, komunikasi internal bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi membangun rasa keterhubungan antar-manusia. Kadang, di tengah kesibukan menjalankan program dan laporan, pegawai lupa menoleh kepada mereka yang menjaga roda organisasi tetap berputar dalam diam.
Komunikasi yang Terputus, Hati yang Jauh
Dalam organisasi, sering terjadi komunikasi hanya mengalir satu arah, dari atas ke bawah. Pimpinan berbicara kepada staf, staf menyampaikan laporan kepada atasan. Namun, suara mereka yang bekerja di pinggiran struktur (petugas kebersihan, sopir, penjaga malam) kerap tak terdengar. Padahal mereka adalah bagian dari publik internal yang sama pentingnya. Ketika komunikasi hanya menjadi formalitas, organisasi kehilangan suara hatinya. Di situlah lahir kesalahpahaman, bahkan ketersinggungan yang tampak kecil namun sesungguhnya berakar dari rasa tidak diakui.
Dialog dengan penjaga malam itu membuat saya belajar banyak, bahwa mendengarkan adalah bentuk tertinggi dari komunikasi. Dalam keheningan malam yang dia jaga, ternyata tersimpan banyak cerita: rasa bangga, rasa lelah, bahkan rasa sepi karena tidak pernah disapa. Momen itu membuat saya memahami makna Tat Twam Asi dalam praktik nyata komunikasi: setiap individu dalam organisasi adalah cermin diri sendiri. Menghormati mereka berarti menghormati nilai kemanusiaan yang ada dalam diri kita sendiri.
Pemimpin yang komunikatif bukan hanya berbicara dengan bahasa kebijakan, tetapi juga dengan bahasa hati. Hadir, mendengar, dan memberi ruang agar setiap orang merasa berarti.
Dari Salah Paham ke Rasa Paham
Dari momen yang awalnya tampak sebagai ketegangan kecil, lahir kesadaran baru:
bahwa komunikasi internal adalah jembatan yang menyatukan perbedaan status, fungsi, dan peran. Ketika seseorang merasa didengarkan, dia bukan hanya menjadi bagian dari organisasi, tetapi juga menjadi bagian dari makna. Ketika komunikasi mengalir dengan empati, organisasi tidak hanya hidup secara administratif, tetapi juga tumbuh secara spiritual.
Sungguh, di Malam Minggu yang kontras itu saya belajar banyak, bahwa setiap pesan yang kita bagikan, setiap kata yang kita tulis, bisa menjadi jendela untuk membuka hati.
Dan dalam setiap salah paham, selalu ada kesempatan untuk menumbuhkan rasa paham.
Peristiwa kecil seperti ini seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat komunikasi dengan seluruh publik internal organisasi/lembaga. Setiap pimpinan perlu menciptakan ruang dialog yang lebih terbuka, pertemuan ringan lintas posisi, serta penghargaan tulus kepada semua yang telah berkontribusi. Sekecil apa pun perannya. Sebab sejatinya, harmoni organisasi tidak dibangun oleh jabatan dan struktur, melainkan oleh rasa saling menghormati dan saling memahami di antara manusia yang ada di dalamnya.
*Penulis adalah praktisi komunikasi pencinta budaya