Ilustrasi
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika melakukan pemuktahiran gempabumi tektonik berpotensi tsunami yang terjadi Jum’at lalu, di wilayah Samudera Hindia Selatan Banten, yang sebelumnya diinfokan dengan kekuatan M=7,4 dengan kedalaman 10 km, kemudian dimutakhirkan menjadi M=6,9 dengan kedalaman 48 km.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Dr. Daryono, S,Si, M.Si menjelaskan langkah ini perlu dilakukan untuk memberikan informasi terkait magnitudo gempabumi secepat mungkin, sejalan dengan amanah dari UU nomor 31 tahun 2009 pasal 37, yang menyatakan bahwa “informasi kejadian ekstrem (gempabumi dan tsunami) wajib seketika disebarluaskan”.
Menurut Daryono, kecepatan informasi (bukan akurasi) yang harus lebih diutamakan dalam memberikan Peringatan Dini Tsunami. Kecepatan dan akurasi, imbuh Daryono adalah dua hal yang tidak selalu memungkinkan terpenuhi dalam waktu yang bersamaan.
“Dari kasus Gempa Tohoku pada tahun 2011 yang lalu, Japan Meteorogical Agency (JMA) yang merupakan BMKGnya Jepang, dalam waktu 3 menit langsung menyampaikan informasi kejadian gempa dengan Magnitudo 7,9 dan Peringatan Dini Tsunami dengan ketinggian 6 m,” imbuh Daryono. Pada menit ke-3 tersebut masih sebagian kecil sinyal-sinyal gempa tertangkap oleh jaringan sensor gempa JMA, yang baru mampu memberikan perhitungan magnitudo mencapai M=7,9 beserta potensi kejadian tsunami. Seketika itu juga di menit ke-3, masyarakat terdampak sudah dapat mulai siaga untuk menghadapi ancaman tsunami, dengan melakukan evakuasi mandiri.
Selanjutnya, pada menit ke-50 JMA memutakhirkan (mengupdate) kembali magnitudo gempa menjadi M=8,8, dan akhirnya magnitudo tersebut diperbaharui menjadi M=9,0. Lebih lanjut, Daryono menjelaskan akurasi baru dapat dicapai setelah menit ke-50 untuk gempa dengan magnitudo M=9,0. Apabila Peringatan Dini diinformasikan setelah menit ke-50 karena menunggu akurasi, tsunami sudah melanda terlebih dahulu di pantai-pantai terdekat. ”Situasi dan kondisi geologi dan tektonik di Jepang hampir serupa dengan situasi dan kondisi di wilayah Indonesia,” kata Daryono.
Daryono pun menuturkan beberapa pantai di Indonesia juga berada pada posisi dengan sumber-sumber gempa bermagnitudo besar, yang akurasi perhitunganya baru bisa dicapai pada menit-menit yang akan selalu terlambat dengan kedatangan tsunami.
Sementara itu, Kepala BMKG, Prof. Dwikorita Karnawati, M.Sc, Ph.D menambahkan bahwa prinsip yang mengutamakan kecepatan informasi inilah yang menjadi pegangan BMKG, sesuai dengan amanah Undang-undang No.31 Tahun 2009 pasal 37, sebagaimana halnya yang diterapkan di Negara termaju dalam Mitigasi dan Peringatan Dini Tsunami, serta dengan mempertimbangkan kondisi geologi dan tektonik di berbagai pantai di Indonesia yang rawan tsunami cepat.
Kecepatan inilah, lanjut Dwikorita, yang membuat masyarakat memiliki waktu berharga (golden time) secara lebih dini, untuk melakukan evakuasi mandiri. “Untuk akurasi sebagaimana halnya dengan yang dilakukan di Jepang, dapat dicapai dengan proses updating (pemutakhiran) sesuai dengan perkembangan jumlah sinyal-sinyal kegempaan yang terekam oleh jaringan sensor gempabumi.” ujar Dwikorita. (hd)