Balinetizen.com, Jakarta
Babak baru tantangan Menkeu Purbaya sebagai Bendahara Negara dalam Kondisi APBN “Cekak”. Terobosan kebijakan dalam bentuk terapi kejut di Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai sangat diperlukan, karena diduga terjadi moral hazard di kedua lembaga ini.
Hal itu dikatakan Jro Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi, 13 Oktober 2025.
Menurut Jro Gde Sudibya, melakukan terobosan kebijakan dalam pemungutan pajak bagi wajib pajak besar, karena menurut perkiraan Bank Dunia dengan peningkatan efektivitas pemungutan pajak, tambahan pendapatan negara bisa naik sekitar Rp.1 400 T.
Dikatakan, tingkat efektivitas pemungutan pajak di industri sawit diperkirakan baru mencapai 50 persen, sehingga peningkatan efektivitas di industri ini diperkirakan akan menaikkan pajak secara signifikan. Diharapkan tax ratio bisa naik dari 9 persen, ke tingkat sebelumnya yang pernah mencapai 12 persen di era Orde Baru.
“Terobosan kebijakan dalam bentuk terapi kejut di Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai sangat diperlukan, karena diduga terjadi moral hazard di kedua lembaga ini,” katanya
Dikatakan, telah terjadi “Kong kali kong” wajib pajak dengan pegawai pajak yang menjadi konsultan pajak wajib pajak.
Begitu juga dugaan moral hazard di Bea Cukai harus diakhiri, contohnya: ekspor Nikel tahun 2021 – 2023 dilaporkan nihil, karena larangan ekspor Nikel sebagai raw material.
” Tetapi sesuai ketentuan WTO, diberitakan Bea Cukai China terutama dari pelabuhan Syanghai melaporkan impor raw material Nikel dari Indonesia sebesar 5,4 juta ton,” kata Jro Gde Sudibya.
Menurutnya, diharapkan lebih disiplin dalam memberikan statement berbasis fakta, karena ucapan Menkeu rentan ditafsirkan berbeda oleh para pelaku pasar uang dan modal dengan motif yang beragam.
“Risikonya, nilai rupiah, harga saham, persepsi kemudahan berinvestasi, bisa terganggu, dan bahkan menjadi fragile (mudah tertekan ke bawah),” kata Jro Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi.
Jurnalis Nyoman Sutiawan