Balinetizen.com, Denpasar
Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu 2024 telah mematahkan arti penting peran strategis Parpol sebagai penampung aspirasi penting rakyat tentang seleksi kepemimpinan, dan “memporak-porandakan” sistem kaderisasi di masing-masing parpol.
Hal itu dikatakan Gde Sudibya, aktivis demokrasi, pengamat ekonomi politik, Sabtu 16 Desember 2023 menanggapi pencalonan Capres dan Cawapres yang hanya dipungut kehendak pasar di Indonesia.
Dikatakan, tanpa kaderisasi ketat di masing-masing parpol, parpol bisa menjadi semacam “kuda tunggangan” bagi penguasa, pemilik modal mengatas-namakan rakyat, lewat “legitimasi” parpol.
Menurut I Gde Sudibya, sistem meritokrasi di parpol “rusak” berat, akibatnya banyak orang menghalalkan semua cara dalam merebut jabatan publik. Banyak uang uang ilegal yang dipakai untuk menggolkan calon pemimpin mulai dari pemilihan Presiden sampai Kepala Desa.
Saat ini, kata Sudibya, peran parpol menuju ke titik nadirnya, sebatas alat penguasa dan atau oligarki politik – ekonomi. Pada Pemilu 2024 ini rakyat merasa muak. Apalagi untuk meloloskan calon tertentu dengan cara merekayasa aturan dan konstitusi.
“Ini jelas terjadi kemunduran besar dalam demokrasi substansial, yang menguat demokrasi prosedural yang didominasi penguasa, media terkooptasi oleh kekuatan sumber daya dan atau ancaman, kekuatan masyarakat sipil terpecah belah berhadapan dengan pragmatisme yang didukung oleh sumber dana besar,” kata I Gde Sudibya, aktivis demokrasi, pengamat ekonomi politik.
Menurutnya, ini demokrasi yang paling buruk selama pemilu sebelumnya. Maka, jangan heran lahir pemimpin karbitan, tanpa proses “jatuh bangun” bersama rakyat.
“Pemimpin karbitan yang sudah tentu berkarakter lemah, tanpa visi kerakyatan, sehingga menjadi mustahil menggantungkan harapan dari pemimpin instan ini,” kata Gde Sudibya, aktivis demokrasi, pengamat ekonomi politik. (Adi Putra)