Balinetizen.com, Denpasar-
Bilbao, sebuah kota ‘kecil’ di sebelah barat Spanyol. Landscape nya indah tertata dan saat ini dikenal sebagai salah satu kota budaya yang peduli terhadap pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Dulu Bilbao adalah kota industri yang dipenuhi banyak pabrik. Kota ini sangat kotor dan polutif. Namun, kepemimpinan dan masyarakat kota sepakat untuk merubah wajah kota.
Berbagai pabrik di geser, di lokalisir ke luar kota. Dan kota ini ditata menjadi kota budaya dengan pembangunan gedung berarsitektur Spanyol barat.
Selain itu masyarakat dan dewan kota serius mendorong peningkatan kualitas pendidikan dan penelitian di universitas Deusto sehingga menempatkan universitas ini sebagai salah satu lembaga pendidikan terdepan di
Spanyol. Bilbao kemudian bertransformasi menjadi kota budaya dan kota pendidikan. Semacam posisi Yogyakarta di masa lalu.
I Gde Sudibya, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999 – 2004, ekonom, pengamat ekonomi dan kebudayaan, Kamis 2 Oktober 2024 mengatakan terinspirasi dengan tulisan Putu Suasta di atas
Bahkan, I Gde Sudibya menyebut bahwa Perda pertama Pariwisata tahun 1974, banyak mengandung kemiripan dan kesamaan dengan idealisme dari warga Bilbao, kota di sisi Barat Spanyol yang diulas di atas.
Dikatakan, pemikiran yang diberikan karena diminta oleh Tim konsultan Sceto Perancis, oleh: Nang Lecir, Gusti Ketut Kaler, Ketua Gedong Kertya dan beberapa nama lainnya, yang didampingi oleh Nyoman Glebet (nara sumber termuda, karena baru lulus STM), memberikan masukan serupa, sudah tentu dengan narasi yang berbeda “manut Desa, Kala, Patra”.
Prof. Ngurah Bagus, dalam banyak pemikiran dalam kerangka besar, mengungkapkan pemikiran Pariwisata Budaya, untuk mengembangkan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dengan kelestarian budaya.
Prof. A Manuaba yang punya kepedulian tinggi, tentang pembangunan holistik Pariwisata Bali dalam perspektif Pembangunan Bali Berkelanjutan sampai hari-hari terakhir menjelang wafatnya.
Ilmuwan nasionalis ini, membentuk Bali HESG (Human Ecology Study Group) yang mewariskan dokumen yang sangat kaya tentang bagaimana sebaiknya Pariwisata dikelola.
Dikatakan, Sceto memberikan rekomendasi bagi pembangunan kawasan wisata Nusa Dua yang telah menjadi legenda. Tetapi sayangnya, tuan dan puan penguasa Bali dewasa ini, agaknya gagal paham dalam pengelolaan pariwisata Bali dewasa ini, yang semakin amburadul.
“Ngomongnya penambahan pendapatan terus menerus, tanpa merawat sumber budaya pendapatan yang menjadi sumbernya,” kata I Gde Sudibya.
Dikatakan, kita (yang masih punya akal sehat) seharusnya malu dalam pengelolaan pariwisata yang amat sangat amburadul ini. Jika disimak menyebut saja: pemikiran Prof.Ngurah Bagus, Prof.A Manuaba dan teman-teman di Bali HESG, Ir.Nyoman Glebet, selalu berbicara tentang idealisme masa depan, tidak pernah dan bahkan nyaris tabu bicara “cuan”. Kesenjangan pemikiran yang sangat jauh, “bak bumi dan langit”, menyedihkan dan memalukan.
Menurut I Gde Sudibya, kini Pariwisata Bali telah kehilangan orientasi, “gegemet lan sesuduk kayun”, menafikan kalau tidak mau dikatakan telah mengkhinati prinsip dasar Pariwisata Budaya yang telah diletakkan dasar pemikirannya oleh intelektual ternama Bali, menyebut beberapa nama: Prof Mantra, Prof.Ngurah Bagus dan Prof.A Manuaba.
Keteladanan yang telah diberikan praktisi Pariwisata semenjak tahun 1950’an Nang Lecir (nama otetintiknya Nyoman Oka), manusia Bali idealis dari Desa Beratan, Singaraja.
Dikatakan, Tuan dan puan penguasa Bali dewasa ini, paling tidak dalam sepuluh tahun terakhir, meminjam istilah Soekarno telah kehilangan elan vitalitas perjuangan, minim kecerdasan dan visi, sebatas politisi bansos, “mendewakan” elektabilitas, nyaris abai pada Etikabilitas (memegang teguh etika), Intelektualitas (kecerdasan dalam perumusan visi kebijakan) dan Kapabilitas (tampil dalam mengeksekusi program).
“Sehingga wacananya lebih banyak bias tanpa “taksu” untuk menambah PAD, bukan dalam artian Pendapatan Asli Daerah, tetapi dalam kritik bernama satire dalam idiom bahasa Bali PANG ADA DUM,” kata I Gde Sudibya.
Menurut penuturan rekan Ir.Nyoman Glebet yang mendampingi para senior Gusti Ketut Kaler, Nang Lecir dkk., bertemu dengan Sceto (konsultan Perancis) yang mendisign Pariwisata Bali, penentuan Nusa Dua sebagai “special tourist destination”, melalui kajian cermat dari sekitar 21 alternatif destinasi.
Gelising cerita, dipilihlah Nusa Dua sebagai kawasan wisata khusus lengkap dengan sarana penunjang lembaga pendidikan untuk menunjang perkembangan destinasi.
“Dengan persyaratan, kawasan di luar Nusa Dua: Kuta, Sanur, Ubud diatur secara ketat sebagai destinasi yang berbasis sumber daya lokal: ekonomi dan kultural,” katanya.
Menurutnya, investasi pariwisata di kawasan Sanur tahun 1970’an dengan kredit investasi berbunga relatif rendah dan jangka panjang, diprioritaskan untuk skala menengah dan kecil, dengan prioritas untuk pengusaha lokal.
Dikatakan, Design kredit di era tahun 1970’an yang berupa kredit investasi dan modal kerja permanen, mendukung program di atas. Demikian pula design kebijakan untuk Kuta. Boom pariwisata tahun 1980’an, telah mendagradasi kebijakan itu.
“Investor besar, mengatasnamakan pusat kekuasaan, berbarengan dengan pejabat lokal pengambil keputusan yang lemah didikte oleh “Jakarta”, membuat keputusan perizinan investasi pariwisata semakin lepas kendali. Penyimpangan yang terjadi tidak terkoreksi, bahkan semakin menjadi-jadi terlebih-lebih dalam 10 tahun terakhir,” katanya.
Menurutnya, Peraturan Presiden tahun 2016, yang menetapkan Kawasan Besakih dan Kawasan Gunung Agung dan sekitarnya sebagai KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional) yang kemudian didukung oleh UU Cipta Kerja tahun 2020 yang pro investor, amdal tidak diperlukan lagi, akan menjadi bom waktu dari dampak destruktif dari kebijakan pariwisata kebablasan.
Dikatakan, Proyek super ambisius dari Wayan Koster dengan label ULAPAN (Ubud, Tegallalang dan Payangan) sebagai kawasan wisata khusus, bentuk bom waktu lain, akibat visi dan kebijakan pariwisata yang super ceroboh. (Sutiawan).