Ilustrasi
Pengaturan yang sangat lemah ini sangat tampak pada pasal 10 perda desa adat tentang palemahan desa adat yang hanya terdiri dari tanah desa adat dan tanah guna kaya yang berfungsi komunal atau individu
Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang desa adat telah disahkan 28 Mei 2019. Perda ini bertujuan untuk mengakui, menghormati, memajukan, dan memberdayakan desa adat yang berjumlah 1.493. Tujuan perda tentu saja sangat mulia, tetapi rujukan dari perda ini yang bersifat teknis hanya pada undang-undang pemerintahan daerah, undang-undang keuangan mikro dan peraturan menteri agama tentang pendidikan keagamaan Hindu. Rujukan perda ini mengesankan tidak adanya ruang gerak yang luas dalam pengakuan, penghormatan, dan pemberdayaan. Mendiskusikan hal-hal pokok ini, Pusat Kajian Hindu (the Hindu Center) mengadakan diskusi pada Jumat (14/6) di Kantor PHDI Bali, Denpasar. Diskusi ini dimoderatori Dr. I Gede Sutarya. Berikut laporannya.
Ketua Pusat Kajian Hindu, Drs. I Gde Sudibya menegaskan hal itu, bahwa perda desa adat tersebut tidak merujuk kepada undang-undang tentang desa, sehingga otonomi desa sesuai hak asal-usul menjadi hampir tidak bisa dipastikan. Pengaturan yang sangat lemah ini sangat tampak pada pasal 10 perda desa adat tentang palemahan desa adat yang hanya terdiri dari tanah desa adat dan tanah guna kaya yang berfungsi komunal atau individu. Pengaturan ini sangat membatasi wilayah desa adat, sehingga hutan-hutan yang kini menjadi hutan negara lepas dari pengaturan ini.
Pengaturan yang melemahkan ini, kata dia, sangat berbahaya di tengah kapitalisme yang ganas. Ia mencontohkan, fasilitas pariwisata hampir saja terbangun di kawasan hutan Gasong, Tamblingan, Bedugul. Hal seperti ini bisa saja terus terjadi jika desa adat tidak mendapatkan hak asal-usul atas tanah-tanah negara sebagai bentuk penghormatan negara terhadap desa adat. Pasal 25 memberikan kewenangan tersebut kepada desa adat untuk kawasan suci dan hutan adat, tetapi pasal 25 ayat 2 membatasinya sepanjang menjadi kewenangan desa adat, sedangkan kewenangan desa adat hanya pada palemahannya yang terbatas. “Jadi secara geografis, perda ini perlu diberikan banyak masukan,”katanya.
Kerancuan secara geografis ini, lanjutnya, berimbas kepada pengaturan demografis, di mana hubungan antar etnis menjadi sulit diatur secara lebih jelas. Dr. I Gusti Ngurah Nitya Sandiarsa, akademisi dari Universitas Udayana sepakat dengan adanya dilema dalam pola hidup yang heterogen ini. Hubungan antara tamiu dengan parahyangan misalnya tidak bisa dibuatkan dengan kata-kata pengaturan, sehingga perda ini tampak biasa dalam mengatur tamiu, sebab kewajiban tamiu hanya pada pawongan dan pelemahan, di mana itu terjadi di mana saja di Indonesia. “Jadi ada kesulitan di situ,”katanya.
Wartawan Senior, I Wayan Suyadnya menambahkan, kelemahan-kelemahan ini disebabkan tidak mengacunya perda desa adat dengan undang-undang desa. Perda ini mengacu kepada undang-undang pemerintahan daerah, sehingga urusan desa adat menjadi urusan pemerintah daerah. Urusan pemerintah pusat hanya pada hak-hak asazi manusia, pengaturan keungan mikro dan pendirian pendidikan keagamaan Hindu sesuai dengan undang-undang yang dirujuk perda desa adat. Karena itu, alokasi dana hanya pada pemerintah provinsi. Itu artinya perjuangan untuk mendapatkan alokasi pusat belum berhasil.
I Nyoman Sutiawan, wartawan Senior Metro Bali menambahkan, kalau ruang lingkupnya hanya ekonomi mikro dan pendidikan Hindu maka desa adat akan sulit maju. Desa adat semestinya mendapatkan ruang yang lebih besar. Alokasi untuk pendidikan Hindu juga sangat kecil untuk umat Hindu di seluruh Indonesia. Karena itu, hal ini sulit untuk mendapatkan perhatian, apalagi umat Hindu di luar Bali, lebih memerlukan dari yang ada di Bali. Sebab sekolah-sekolah di Bali, sudah memiliki guru agama Hindu.
Dia berharap, kelemahan-kelemahan itu dapat dilengkapi dengan peraturan gubernur, sehingga ada pengaturan yang lebih tegas, sehingga peranan desa adat menjadi lebih kuat. Kalau tidak demikian, tambah Suyadnya, otonomi khusus menjadi pilihan, sehingga kewenangan desa adat yang berada dalam undang-undang otsus menjadi lebih kuat. “Harusnya otsus dulu,” kata Wartawan Pos Bali ini.
Telaah Kritis Perda Desa Adat
No | Point Tujuan | Kenyataan | Kritik |
1. | Memberikan pengakuan, penghormatan | Pelemahan desa adat hanya diakui yang merupakan tanah milik desa adat dan tanah guna kaya yang berfungsi komunal atau individu (pasal 10, ayat 2) | Tanah-tanah di luar itu, yang saat ini disebut tanah negara belum dimasukkan sebagai palemahan desa adat |
Ini berimplikasi pada kewenangan lokal terhadap kawasan suci dll. Bagaimana dengan kawasan suci yang bukan tanah milik desa adat dan guna kaya pribadi? (pasal 25) | |||
2. | Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum desa adat | Tidak disebutkan desa adat adalah desa yang otonom, hanya disebutkan sebagai subyek hukum | Yayasan, perusahaan juga subyek hukum apa bedanya? |
3. | Memajukan adat, tradisi, seni dan budaya | Tidak ada pasal tentang pengaturan memajukan budaya seperti seni | Pembangunan desa adat lebih menekankan pembangunan fisik, bukan jiwa desa adat |
4. | Memberdayakan pemerintahan desa adat yang profesional, efesien, efektif, terbuka, bertanggungjawab | Tidak ada pasal yang mengatur tentang pertanggungjawaban prajuru (bendesa adat) dalam paruman desa, pertanggungjawaban hanya diatur tentang keuangan saja (pasal 70 ayat 1), padahal tugas prajuru banyak | Memberikan ruang untuk hal-hal yang tidak diinginkan. Kalau ini tidak atur dalam awig-awig desa adat bisa berbahaya |
5. | Meningkatkan ketahanan krama desa adat | Pemilahan krama menjadi krama desa adat, krama tamiu, dan tamiu memberikan peluang diskriminasi krama, sehingga tamiu memiliki kewajiban yang lebih ringan | Diskriminasi ini bisa membangun kecemburuan sosial di masa depan |
6. | Mewujudkan sistem perekonomian desa adat yang tangguh | Tidak ada ketentuan untuk membangun lembaga ekonomi yang kuat, untuk seluruh desa-desa adat di Bali | Peraturan ini hanya memberikan ruang pada pembangunan ekonomi yang berskala kecil, tanpa usaha penggabungannya |
7. | Memperkuat krama desa adat sebagai subyek hukum | Kewajiban krama desa adat sangat banyak, tetapi hak-haknya sangat terbatas | Perlu ada keseimbangan hak dan kewajiban |
(Sutarya)