Balinetizen.com, Denpasar
Rektor IHDN Denpasar Prof. Dr. Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si. mengatakan dalam melaksanakan upacara, umat Hindu dapat memilih yang terbaik dan sederhana. Yang penting dilakukan secara ikhlas dan tanpa paksaan.
“Seperti halnya Upacara Siwa Sumedang ini, kalau nanti sudah jadi keputusan Parisadha, dapat menjadi alternatif bagi umat Hindu untuk menjalankan pengabenan secara sederhana karena biayanya sedikit dan waktunya juga singkat,” jelas Prof. IGN Sudiana di sela-sela Seminar dan Lokakarya Nasional bertajuk ‘Upacara Pitra Yadnya Siwa Sumedang: Sebuah pilihan bagi umat Hindu’ yang berlangsung di Aula Parisada Hindu Dharma Indnesia (PHDI) Provinsi Bali, Sabtu (7/3/2020).
Seminar yang digelar Yayasan Veda Posanam Ashram Suarga Shanti yang menghadirkan narasumber Dharma Adiyaksa PHDI Pusat Ida Pedanda Nabe Bang Buruan Manuabe, Ketua Saba Walaka PHDI Bali Dr. Made Suasti Puja, dan Sulinggih Ida Pandita Mpu Nabe Abra Baskara Mukti Biru Daksa dihadiri 73 Sulinggih dan 212 Pinandita serta Walaka.
Prof. Sudiana menambahkan upacara Siwa Sumedang ini tidak mengurangi tatwa, susila, maupun upacara yang sudah berjalan di pengabenan yang lainnya. “Maknanya sama, hanya berbeda sedikit pada banten dan waktu serta tanpa memakai wadah. Upacara ini sangat cocok untuk umat yang perekonomiannya terbatas dan juga bagi yang sulit mendapatkan waktu untuk melaksanakan upacara ngaben,” jelasnya.
Prof. Sudiana juga mengingatkan intinya yang penting tulus. Namun jangan yang kaya pura-pura miskin dan sebaliknya yang miskin pura-pura kaya. “Jadi ngaben Siwa Sumedang ini tak banyak habis biaya dan cocok bagi generasi mendatang yang ingin praktis. Kalau perlu habis ngaben bisa nabung untuk kelangsungan keturunannya,” tambah Rektor yang dikenal dekat dengan wartawan ini.
Pengabenan seperti ini kalau dicari perjalanannya, pembagian pengabenan jika berdasarkan keputusan Parisadha Tahun 1968 merupakan tingkatan kanista (tingkatan paling rendah), tapi ini bukan berarti tingkatan yang paling jelek. Kanista ini artinya sederhana. “Sama seperti halnya upacara tingkatan yang paling utama, hanya saja banten, jalannya upacara, waktu yang dihabiskan lebih singkat,” ujar Prof. Sudiana seraya menambahkan upacara Siwa Sumedang ini sudah ada yang menjalankan, akan tetapi belum begitu banyak karena belum disiarkan secara luas ke umat.
Ditempat yang sama, Anggota DPD RI, I Made Mangku Pastika dalam sekapur sirihnya menyampaikan bahwa Kalau kita ingin mencegah orang-orang Hindu dan anak-anak muda berpindah agama atau mengkonversi ke agama lain maka kita harus menghilangkan apa yang menjadi beban-beban yang selama ini dirasakan dalam melaksanakan keberadaan dia sebagai umat Hindu maka beban-beban itu harus kita kurangi perlahan-lahan tanpa menghilangkan essensi yang ada.
“Intinya adalah Hindu Dharma kenapa disebut dengan Sanata Dharma yang berarti abadi karena kita adaptif terhadap keadaan tempat, waktu dan keadaan atau kemajuan jaman, Separti diketahui jumlah kita besar namun secara prosentase populasi Hindu agak berkurang karena ada anggapan bahwa agama Hindu itu ribet dan menjadi beban,” terangnya.
“Tetapi kalau kita tidak mau berubah (kaku) untuk menyesuaikan dengan tempat, waktu dan situasi, pilihannya ada di diri kita apakah kita mau tetap eksis atau punah?” pungkas Mangku Pastika. (HD)