Keterangan foto: Asisten Deputi (Asdep) Infrastruktur Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Djoko Hartoyo saat melakukan kunjungan kerja ke Kali Adem, kawasan Muara Angke, Jakarta Utara pada Hari Kamis (22/4/2021)/MB
Jakarta (Metrobali.com) –
“Permasalahan banjir perlu diselesaikan secara komprehensif, bukan hanya melibatkan DKI Jakarta,” ungkap Asisten Deputi (Asdep) Infrastruktur Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Djoko Hartoyo saat melakukan kunjungan kerja ke Kali Adem, kawasan Muara Angke, Jakarta Utara pada Hari Kamis (22/4/2021). Kawasan tersebut adalah salah satu diantara lima titik kritis normalisasi dan peningkatan kapasitas aliran sungai di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.
Mengacu pada data tahun 2020, debit banjir di DKI Jakarta mencapai 3.389 m3/detik, tetapi kapasitas desain dan eksisting belum memadai, yakni sebanyak 2.357 m3/detik dan 1.414 m3/detik. Berdasarkan studi tersebut, diketahui masih ada 1.975 m3/detik debit air yang belum dapat tertampung, baik pada kapasitas desain maupun pada kapasitas eksisting.
Salah satu rencana penanganan banjir saat ini mencakup pembuatan trase sepanjang 46,212 kilometer. Untuk saat ini, panjang terbangun masih sejauh 12,664 kilometer dan Muara Angke menjadi salah satu rencana lokasi pembangunan tanggul pengamanan pantai dan muara sungai. Kondisi kali di kawasan Muara Angke sepanjang 2,27 kilometer tergolong sangat kritis, sedangkan Kali Adem, Kanal Banjir Barat (KBB), serta pertemuan Kali Angke dengan KBB sejauh 3,90 kilometer tergolong kritis. Pembangunan infrastruktur untuk merehabilitasi kawasan sangat kritis dan kritis sejauh 6,02 kilometer ini pun akan mulai dikerjakan tahun 2022 dan ditargetkan selesai pada tahun 2026.
Penyempitan badan Kali Adem, Muara Angke sendiri disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu pendirian tempat tinggal masyarakat di sekitar sungai, produksi sampah dari area pemukiman yang tidak terkendali.
Di sepanjang Kali Adem, Muara Angke sendiri terdapat sekitar 500 kepala keluarga (KK) yang tinggal di bantaran sungai. Bahkan, tanggul yang sudah terbangun disisi Timur beberapa di potong lebih rendah untuk memberikan akses jalan bagi masyarakat. Untuk menanganinya, perlu dilakukan resettlement rumah warga ke tempat yang tidak jauh dari lokasi. Tentunya dengan tetap menjaga kondisi alam dan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan sebagainya. “Jangan sampai karena kita selesaikan satu masalah, memunculkan masalah lain,” tegas Asdep Djoko. Selain itu, ia juga meminta untuk dirancang timeline penyelesaian banjir, juga kementerian/lembaga (K/L) berbagi peran dalam menyelesaikan masalah sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing.
Selain pemukiman masyarakat, dalam kesempatan yang sama, Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Yusmada Faizal menyatakan, “Selama ini, sampah tidak hanya disaring di Manggarai dan di jembatan, tapi di sana hanya bisa menyaring sampah-sampah besar.” Ia pun menginformasikan bahwa Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta sudah merencanakan pembuatan tambahan saringan sampah di area Gedong Simatupang, tetapi masih memerlukan perhatian lebih lanjut.
“Bottleneck juga terjadi di sini, dampaknya air stuck dan tidak dapat mengalir ke tempat lain,” sebut Kepala Dinas Faizal. Karena penyempitan aliran tersebut, air hanya terdistribusi di daerah Suaka Margasatwa Muara Angke maupun di hutan lindung.
Menutup kunjungan dengan memantau lokasi sekitar sungai menggunakan kapal, Asdep Djoko menuturkan, “Saya tidak ingin mengganggu ekosistem di sini dengan memangkas pohon mangrove.” Ia menyarankan kalau bisa dibuat kanal-kanal saja supaya selain untuk menangani banjir, Muara Angke juga bisa menjadi lokasi wisata terbatas. Oleh karena itu, diperlukan pembuatan rancangan desain, kajian, dan diskusi kelompok terpumpun atau focus group discussion untuk membahas masalah ini lebih lanjut.
Selain pembuatan tanggul pengaman pantai dan muara sungai, terdapat beberapa upaya yang juga dilakukan untuk menangani banjir di DKI Jakarta, seperti dengan menahan air di hulu, membuat sumur resapan dan drainase vertikal, serta pembuatan ruang terbuka hijau. Selain itu, dilakukan pula pembangunan infrastruktur sesuai dengan masterplan (desain induk), diantaranya pelebaran dan pengerukan kali atau sungai, pembangunan dan rehabilitasi polder, maupun pembangunan tanggul pantai. RED-MB