Balinetizen.com, Jakarta –
Presiden Prabowo Subianto belum menunjukkan kepemimpinan otentiknya -autenticity leadership-,lebih mengakomodasi kepentingan pemerintahan lama, politik balas budi berlebih, mengorbankan meritokrasi.
Akibatnya, kabinet menjadi super gemuk, sulit melakukan koordinasi, garis komando tidak jelas dan juga boros, tidak efektif dan efisien.
Akibat politik balas budi berlebih dan Kabinet super gemuk, kebijakan umum Presiden Prabowo Subianto dan retorikanya tidak menjadi agenda pokok kabinet. Presiden tampaknya kesulitan dan kedodoran dalam menjaga soliditas kabinet dalam artian pencapaian target sasaran.
Akibat dari politik balas Budi dan Kabinet super gemuk ini, maka target sasaran kabinet yang terukur, dengan indikator kinerja menjadi samar dan tidak jelas.
Ambil contoh program MBG tahun 2025 dengan dana besar Rp.78 T, aturan hukumnya belum disiapkan secara lengkap, standar kerja baku berbasis riset lapangan tidak ada. Akibatnya pelaksana program “pontang-panting” di lapangan dengan risiko kegagalan membayangi, plus potensi besar moral hazard.
Program unggul lainnya “sekali tiga uang”, rencana pendirian 80 ribu Kopdes Merah Putih yang top -down. Fakta menunjukan koperasi model top down di era Orde Baru mulai dari: Kredit Bimas, KUT (Kredit Usaha Tani) yang memperoleh subsidi pemerintah ternyata gagal.
Berbeda dengan Kupedes dengan pendekatan bottom-up, didukung BRI Unit Desa dengan pendekatan komersial yang menunjukkan keberhasilan.
Semestinya Kopdes Merah-Putih meniru Kupedes BRI sudah tentu dengan modifikasi. Program Sekolah Rakyat yang dimotori oleh Kementrian Sosial yang kurang berpengalaman, koordinasi minimal dengan Kementrian Pendidikan Dasar dan Menengah punya potensi besar untuk gagal.
Koordinasi di tingkat menteri pada isu strategis tampak kedodoran, seperti: pernyataan terbuka Menkeu untuk tidak akan mencairkan dana MBG, padahal program ini merupakan program unggulan Presiden. Isu sensitif ini semestinya dibahas dalam sidang kabinet terbatas.
Pernyataan Menkeu yang vulgar tentang investasi di sektor pengilangan minyak yang dinilai “off side”, yang menggambarkan buruknya komunikasi kabinet untuk isu-isu strategis.
Yang paling anyar, keberatan dari Menkeu untuk menanggung utang proyek KA Cepat, yang diusulkan Danantara tidak dalam sidang kabinet dengan agenda tsb.
Respons Presiden terhadap isu-isu strategis, seperti: tekanan berat fiscal, risiko turun tajamnya nilai rupiah, volatilitas harga saham di bursa efek, risiko turunnya Kredit Rating Indonesia, kesannya cendrung menggampangkan (under estimate), sehingga membuat kabinet tidak memberikan prioritas tinggi untuk isu ekonomi sepenting dan segenting itu.
Oleh : Jro Gde Sudibya, ekonom, pengamat kebijakan publik.