Foto: Ketua Komisi III DPRD Bali yang membidangi infrastruktur dan pembangunan I Nengah Tamba kembali mengingatkan pentingnya pembangunan highway menuju kawasan suci Pura Besakih.
Balinetizen, Denpasar
Ketua Komisi III DPRD Bali yang membidangi infrastruktur dan pembangunan I Nengah Tamba kembali merasa “galau” dengan kondisi kemacetan parah yang kerap terjadi sepanjang jalan menuju Pura Besakih Rendang, Karangasem.
Utamanya saat Karya Ida Bhatara Turun Kabeh (IBTK) Panca Wali Krama seperti tahun ini. Puncak kemacetan terparah terjadi pada hari-hari libur di mana kendaraan pemedek bisa terjebak macet hingga puluhan kilometer.
Akibatnya bahkan hingga perlu waktu lima sampai delapan jam untuk sampai di Pura Besakih misal dari arah Denpasar, Gianyar, Tabanan, Buleleng dan lainnya.
Tamba pun kembali merasa miris sekaligus jengah dengan kondisi ini. Umat Hindu harus berpanas-panasan, terjebak kemacetan berjam-jam.
“Pemedek tiba di areal Pura Besakih, pemedek sudah dengan kondisi penat, lelah bahkan stress, sudah tidak ada lagi suasana tenang dan khusyuk untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa,”kata Tamba ditemui di Denpasar, Sabtu (6/4/2019).
Ia pun menyayangkan pemerintah daerah baik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karangasem dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali seperti “tidak berkutik” dengan kemacetan yang menjadi masalah klasik ini. Terkesan seperti ada pembiaran umat harus bersusah payah untuk bisa sembahyang ke Pura Besakih.
Solusi Jangan “Ecek-ecek” dan Situasional Seperti Pemadam Kebakaran
Memang ada solusi yang diwacanakan Pemkab maupun juga PHDI Karangasem. Seperti misalnya mengatur jadwal pemedek untuk sembahyang ke Pura Besakih hingga menambah jumlah kantong parkir bagi kendaraan pemedek.
Namun bagi Tamba solusi tersebut hanya bersifat situasional. Hanya seperti pemadam kebakaran. “Ibaratnya bangunan sudah hangus baru dicarikan solusi. Sudah macet parah, pemedek sudah stress baru pemerintahan bertindak secara situasional,” kritik Tamba.
Ia pun mengaku malu dan jengah dengan status Pura Besakih sebagai “The Mother Temple of Bali” bahkan sebagai pura terbesar di dunia tapi kondisi menuju ke areal suci ini diwarnai kemacetan, jalan sempit dan rusak yang cukup mengenaskan.
“Kita lihat Arab Saudi, berapa juta dolar habis untuk buat lingkungan menuju Kabah bagus, indah, nyaman. Kita di Bali, menuju Pura Besakih jangan mule kene (memang seperti ini-red),” kata politisi Demokrat asal Jembrana ini .
Caleg petahana DPRD Bali dapil Jembrana nomor urut 1 dari Partai Demokrat ini pun melayangkan kritik tajam dan pedas kepada kalangan pejabat yang dengan bangganya “tangkil” ke Pura Besakih dengan pengawalan mobil patwal dari kepolisian sehingga bisa melaju lebih mulus dan lebih cepat sampai.
“Pimpinan umat dan pejabat ke Besakih dikawal pakai patwal. Sementara ribuan pemedek lainnya harus terjebak macet, tidak bisa sembahyang dengan nyaman,” kata Tamba.
Ia pun berharap pemerintah segera bergerak cepat membuat kebijakan strategis baik untuk menangani kemacetan menuju ke Pura Besakih dengan membangun infrastruktur jalan yang lebih baik maupun dalam hal penataan kawasan suci Besakih secara terintegrasi.
“Jangan buat kebijakan dan solusi ecek-ecek untuk tangani macet dan tata kawasan suci Pura Besakih. Ini gengsi umat Hindu. Jangan rakyat dan umat Hindu dilepas bahwa macet ini biasa dan hanya terjadi setahun sekali,” kata Tamba yang punya tagline TMS (Tamba Memberi Solusi) ini.
TMS Dorong Bangun Higway Menuju Pura Besakih
Tamba pun kembali melontarkan solusi yang sudah pernah ia ingatkan setahun sebelumnya untuk menangani permasalahan kemacetan di Pura Besakih. Ia mengusulkan agar di ruas jalan menuju Pura Besakih dibangun high way atau semacam jalan bebas hambatan dengan ruas jalan yang lebih lebar dari jalan sekarang.
High way ini bisa dibangun dari arah selatan mulai dari utara kantor Bupati Klungkung menuju ke Besakih melewati ruas jalan Bukit Jambul yang terkenal berkelok dan sempit serta sering menjadi titik kecelakaan lalu lintas, lalu menuju Nongan, Menanga dan Besakih.
Sementara untuk pemedek dari arah Bali Utara, highway ini bisa dimulai dari jalur Kintamani, menuju ke Waringin dan berbelok ke timur di pertigaan Pempatan-Besakih.
Menyangkut soal pendanaan, Tamba secara pribadi menggagas dan mengusulkan proyek jalan tersebut bisa dibiayai secara gotong royong oleh pemerintah provinsi Bali dan pemerintah kabupaten/kota di Bali. Sebab Pura Besakih adalah milik dan tanggung jawab bersama.
“Bisa saja masing-masing daerah misalnya mengalokasikan Rp 50 miliar. Provinsi misalnya Rp 100 miliar sampai Rp 200 miliar. Untuk daerah yang kaya seperti Badung bisa Rp 100 miliar sampai 200 miliar,”ujar Tamba.
Tata dengan Tamanisasi agar Indah
Selain pelebaran jalan, imbuh politisi Tamba yang dikenal punya gagasan cerdas untuk berbagai permasalahan Bali ini, sepanjang ruas jalan menuju Pura Besakih bisa ditata dengan baik, misalnya ditanami pohon perindang dan tanaman hias. Jadinya, suasana jalan menuju pura sangat indah dan menenangkan bagi umat.
Hal itu juga sangat penting untuk pariwisata Bali sebab Pura Besakih sebagai the Mother Temple of Bali, juga menjadi objek wisata wisatawan mancanegara.
“Bisa kita bayangkan nanti betapa bagusnya nanti suasana dan ruas jalan menuju Pura Besakih. Umat senang wisatawan juga dapat menikmati keindahan ini dalam liburannya,” kata Tamba yang memang getol memperjuangkan pembangunan infrastruktur di Bali.
Ia meyakini umat Hindu dan para pemilik tanah di sekitar ruas jalan yang akan dilebarkan akan sangat mendukung rencana proyek higway tersebut. Sebab ini untuk kepentingan umat.
“Saya yakin masyarakat banyak yang akan mepunia untuk pembangunan jalan ini. Saya pribadi pun siap mepunia dan berjuang bersama,” tegas Anggota DPRD Bali dua periode itu(2009-2014, dan 2014-2019).
Perjalanan Spiritual Umat harus Dibuat Nyaman
Tamba menambahkan perjalanan menuju persembahyangan ke pura adalah bagian dari pengalaman spiritual seseoang yang bersifat personal dan semestinya terjaga ketenangan dan kenyamanan dari rumah hingga sampai ke pura dan kembali ke rumah masing-masing.
Jangan sampai kemacetan yang terjadi di sekitar jalan menuju Pura Besakih menurunkan kualitas umat dalam menjalankan sradha baktinya kepada Tuhan.
Ia pun mengingatkan dulu bagaimana Rsi Markandeya merabas hutan dan dari sana cikal bakal pendirian Pura Besakih. Ini bisa kita maknai sebagai pembuatan jalan atau infrastruktur menuju pura.
“Jadi di era modern ini, bukan lagi soal perabasan hutan, tapi bagaimana kita mempersiapkan infrastruktur jalan yang bagus untuk memudahkan umat kita,” ujarnya.
Ini harus jadi kesadaran kolektif kita jika ingin menjadikan Pura Besakih sebagai pusat peradaban Hindu dan tempat ibadah umat Hindu di dunia. Saya bermimpi Pura Besakih bisa seindah Taj Mahal di India,” pungkas Tamba. (wid)