Balinetizen.com, Denpasar
Dari para perintis pendiri bangsa, Kita bisa belajar banyak tentang kejernihan dalam berpolitik, cerdas, bervisi, penuh dedikasi, politik adalah panggilan kehidupan untuk mengabdi.
Hal itu dikatakan, I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik dan kecenderungan masa depan, Kamis 31 Oktober 2024.
Dikatakan, tulisan Soekarno muda dalam harian Soeloeh Indonesia dasa warsa tahun 1920’an, dengan merujuk pemikiran ternama India Cri Aurobindo, tentang politik tanpa pamrih, totalitas pengabdian buat bangsa, politik sebagai panggilan jiwa untuk mengabdi pada kemanusiaan.
“Tulisan Soetan Sjahrir dalam bukunya Demokrasi Kita yang terbit di awal dasa warsa tahun 1940’an, mengulas tentang panggilan kemanusiaan dalam berpolitik, humanisme universal sebagai sumbu dalam totalitas berpolitik,” kata I Gde Sudibya.
Menurut Sudibya, berbeda jauh, kontras dengan prilaku politik yang berlaku umum dewasa ini, dengan sejumlah cirinya. Pertama, politik sebatas instrumen dari sebuah industri kekuasaan, kekuasaan yang cendrung korup, sehingga upaya pelanggengan kekuasaan, “power feed to power”, menjadi tak terhindarkan.
Kedua,politik menjadi sangat transaksional, menjadi proses “jual beli” dalam pasar politik yang nir etika dan “rimba raya” nyaris tanpa aturan hukum, “Lawless Society”.
Ketiga, Prilaku politik, didominasi oleh prilaku untuk mengendalikan bawah sadar rasa takut kehilangan dan kesempatan menikmati privilege (hak istimewa kekuasaan), sehingga lahir prilaku ngawur dalam berpolitik, demagogi politik, amat banyak mengumbar janji, yang nyaris tidak mungkin untuk dipenuhi.
“Janji ini menemukan “lahan suburnya”, dalam realitas politik, dengan 80 persen pemilih yang tingkat pendidikannya setingkat kelas 7, tidak tamat SMP,” kata I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik dan kecenderungan masa depan.
Keempat, terjadi “social distrust” pada mayoritas pemilih, sehingga bisa timbul bawah sadar pada mereka, untuk memanfaatkan kesempatan setiap momen politik, untuk memberikan “harga ekonomi” terhadap kegiatan mereka memasuki bilik suara.
Kelima, biaya politik menjadi sangat mahal, secara makro terjadi demokrasi prosedural, demokrasi “seolah-olah” yang tidak membawa perubahan buat masyrakyat. Bahkan terjadi proses “pembunuhan” demokrasi, hasil demokrasi “seolah-olah” melahirkan pemerintahan otoriter, semi otoriter, dan bahkan prilaku despotik di sejumlah daerah.
“Buah dari nepotisme politik yang merambah luas, mengkhinati sistem meritokrasi dalam berpolitik. Secara mikro, politisi yang kalah dalam pertarungan bisa jatuh miskin, dan punya risiko mengalami tekanan mental yang akut. Biaya sosial dari pragmatisme politik yang sangat besar,” kata I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik dan kecenderungan masa depan. (Sutiawan)