Oleh I Made Pria Dharsana
Pilpres dan Pileg 2019 telah usai, hiruk pikuk kampanye selama delapan bulan bukan lah waktu yang pendek. Rabu, 17 April 2019, menjadi hari bersejarah bagi bangsa Indonesia, lebih dari 150 juta orang Indonesia memilih di 831.000 dibilik suara. Rakyat memilih dan menunjukan kematangan dalam berdemokrasi dengan aman dan damai. Dan begitu 3 jam setelah pemilihan kita disuguhkan hasil pemilihan oleh lembaga survey melalui cuick count atau hitung cepat memperkirakan hasilnya. Hasilnya menjadi gambaran dan bayangan bagaimana politik ke depan.
Pemilu adalah menjadi indikator penerapan demokrasi disebuah negara modern (A Tomy Trinugroho, kompas, 2019). Meski demikian, tidak sedikit negara yang menggelar pemilu yang sesungguhnya tak demokratis. Ada pemilu, tetapi ada pula tekanan dari penguasa, seperti pemimpin oposisi dihukum, sementara kebebasan pers diberangus. Sejak Reformasi 1999, kita sudah menyelenggarakan Pilpres dan pemilu secara damai, terpilih Presiden dan Wakil Presiden dan anggota legislatif yang dipilih langsung oleh rakyat dengan bebas, dan rahasia. adanya sengketa pemilu dapat diselesaikan oleh Badan Pengawas Pemilu. Prinsip dalam negara demokratis adalah diselenggarakan nya pemilu secara berkala 5 tahun sekali sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Telah menghasilkan pergantian 4 Presiden terpilih dengan demokratis. Pemilu diadakan berangkat dari gagasan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat dan mewujudkannya diperlukan sistem perwakilan.
TANTANGAN KE DEPAN
Lewat sistem perwakilan rakyat memilih wakil-wakilnya yang pantas, kredibel menduduki kursi parlemen. Apa sudah seperti itu yang terjadi ? Ditengah perangkat perpolitikan kita yang ada, UU Partai Politik, UU Pemilu dengan sistem presidensial membutuhkan kekuatan penyeimbang di parlemen. Tampak nya peta politik yang akan kembali menduduki parlemen tidak akan ada perubahan. sebagaimana prediksi kelolosan parpol yang akan mengirim wakilnya di DPR. Syafii Maarif mengatakan dalam pengantar bukunya Zainuddin Malaki, 2004; jika partai politik belum bisa menjadi alat yang baik untuk melakukan rekrutmen. Model rekrutmen the ruling elite, hampir di semua level, apakah pada tataran partai, parlemen dan di birokrasi pemerintahan sudah memiliki sistem yang efektif. Sistem dan model rekrutmen yang belum memungkinkan bisa menjaring dan meloloskan politikus bersih, yang memiliki kompetensi moral dan intelektual- yang bisa diharapkan mengendalikan kekuasaan dengan visi dan the state capacity yang jelas. Syafii Maarif juga mengatakan sistem yang ada sekarang sangat terbuka dan celah yang lebar masuknya POLITIKUS BUSUK yang kemudian ternyata justru memegang peran penting.. hal ini yang mesti jadi perhatian kita semua jangan sampai Pemilu tidak menghasilkan Parlemen yang berkwalitas dan hasil produk perundangan undangan yang baik. Kenapa kita bisa katakan demikian karena bisa dilihat selama 5 tahun DPR periode 2014-2019 sudah berapa banyak UU yang dihasilkan ?
Hal ini memang tidak bisa dipungkiri karena dinamika parlemen begitu kuat menekan pemerintahan. Dinamika pengambilan keputusan di DPR karena parpol yang cenderung mendahulukan kepentingan dirinya. Hal itu disebabkan oleh tingkat pragmentasi parpol di DPR yang tinggi. Ini yang dikatakan Usep Hasan Sadikin darinPerludem dalamĀ harian Kompas 23 April 2019, yang melihat produktifitas DPR 2014-2019 relatif rendah khususnya dibidang legislasi.
Untuk Itulah mayarakat mesti tetap kritis atas hasil Pemilu ini sebagai proses penyadaran yang terus menerus menjadi sebuah keharusan agar masyarakat mampu menjadi tumbuhnya sistem politik yang dapat dijadikan sebagi solusi menyelesaikan krisis. baik ekonomi, budaya, moralitas agar syahwat politik tidak terjerumus kepada budaya korupsi dipanggung kekuasaan. perjuangan yang sudah dihasilkan dalam Pemilu 2019, menjadi ukuran dan pembelajaran bagi seluruh partai politik untuk semakin baik bekerja dan menginvestasikan kepada masyarakat. dan sekarang dapat dilihat hasil nya. dan akan ditunggu kinerjanya khususnya di bidang legislasi.
Kemampuan parpol didalam menghasilakan UU akan ditentukan kemampuan nya melakukan relevansi dan posisi tawar seimbang antara parpol koalisi yang sekarang masuk DPR , tentu dapat saja terjadi penguatan keberpihakan dalam kesepakatan terhadap RUU yang dibahas ditengah pragmentasi kepentingan itu sendiri.
KEMBALI BERSATU
Pilpres dan Pemilu 2019 telah usai, masa kampanye yang panjang, sangat melelahkan. Kampanye menguras tenaga, pikiran, dana, darah dan airmata para pendukungnya. Pemilu kali ini telah banyak korban petugas KPPS dan Polisi yang mengawal proses pemilu yang meninggal karena kelelahan.. Tim sukses telah bekerja dengan sekuat tenaga, taktik, teknik dan strategi semua dimanfaatkan agar mendapatkan dukungan suara rakyat. Dalam masa kampanye Pilpres sangat riuh disatu pihak mengedepankan hasil-hasil pembangunan dan capaian-capaian selama 4,5 Tahun dan rencana pembangunan lanjutan 5 tahun kedepan untuk meningkatkan daya saing global di era perkembangan teknologi 4.0, tetapi sisi lain kampanye juga dipenuhi dengan semburan ujaran kebencian baik menggunakan media sosial dan media elektronik.
Tokoh masyarakat, tokoh politik dan juga tokoh atau pemuka agama pun bahu membahu turut mengisi wacana kampanye. alih- alih memberikan wacana membangun kesadaran demokrasi kepada masyarakat, kemampuan untuk memilah dan kemudian memilih berdasarkan rekam jejak, kompetensi, integrigas, moralitas Paslon dalam Pilpres tetapi lebih banyak penyerangan dan penyebaran berita bohong/ hoaks. era post truht benar adanya terjadi penyebaran berita bohong dan penghilangan logika terus menerus disampaikan seolah-olah itulah kebenaran. berita tidak didasarkan dengan data dan fakta yang diterima oleh sebagian rakyat sebagai kebenaran. Ini tidak bisa dibiarkan karena dapat merusak , meretakan sendi-sendi kekuatan persatuan masyarakat bangsa Indonesia.
Merasakan betapa panasnya kontestasi demokrasi dalam Pilpres dan Pileg kali ini yang jauh lebih keras dari Pilpres 2014, kuatnya politik identitas dan munculnya populisme tersirat membelah masa rakyat. Populisme dalam politik identitas tidak menguatkan demokrasi tetapi malah mencederai demokrasi. Sebagaimana disampaikan oleh F Budi Hardiman, dalam tulisan nya di Jurnal Prisma, 2017, pengajar di STF Dyarkara dan Universitas Pelita Harapan, Jakarta, mengatakan; sejak dulu populisme dimaknai negatif karena melakukan “emosionalisasi dan personalisasi politik”.
Dalam arti tertentu, meski menginvasi ruang politis, populisme adalah sebuah anti-politik dengan dua alasan. pertama, politik moderen, sekurang-kurangnya pada pengertian normatif, adalah sebuah proses rasional karena melibatkan dan kepentingan yang dapat dinalar. Namun populis justru naik kepanggung politik bukan dengan argumentasi rasional, melainkam dengan slogan-slogan dan alasan-alasan sentimental untuk memancing emosi kerumunan. Sentimentalisasi politik dan politisasi sentimen merupakan gaya populisme yang sudah menjadi klasik. kedua, politik juga bukan perkara personal, melainkam bersangkutan dengan kepentingan polis, negara: Dalam Populisme politik disempitkan pada figur pemimpin, sehingga politik tidak lebih daripada gerakan yang terkait figur bersangkutan.
Politisasi sentimen yang berujung pada privatisasi politik membuat berbahaya bagi pertumbuhan rasionalitas publik. saya sependapat dengan apa yang disampaikan F Budiman Hardiman diatas, dapat dilihat secara nyata dalam masa kampanye selama 8 bulan , penguatan populisme dalam Pilpres dan Pemilu 2019 kali ini sangat berbahaya dan mesti dikaji dengan cermat agar demokrasi yang kita bangun bersama tidak hancur. Polarisasi yang terjadi mesti segera diatasi agar pembelahan didalam masyarakat yang tidak paham politik dapat dihindari. Memang populisme bukanlah gejala baru dalam politik modern. Populisme digerakan oleh elite politik baik yang kiri maupun yang kanan yang terkait dengan sikap progresif demokratis dan konservatif anti demokrasi.
Pada awalnya populisme terkait pembelaan terhadap demokrasi di negara-negara yang otokrasi. akhir-akhir ini berkembang populisme kanan yang memakai fasilitas demokrasi, seperti hak berdemontrasi, untuk meraih tujuan-tujuan konservatif yang dalam kenyataan nya justru bertentangan dengan sistem demokrasi. Memaksakan kehendak yang justru bertentangan dengan demokrasi yang menghargai perbedaan dan mengedepankan toleransi dan persatuan.
Begitu juga yang disampaikan Luky Djani, dalam Prisma, 2017; munculnya rezim populisme diberbagai kawasan sejak awal milinium ini dipicu oleh situasi paradoksal akibat perpaduan sistem demokrasi liberal dan ekonomi pasar bebas di sejumlah negara yang sebelumnya dikatagorikan sebagai non-demokratisdan/atau penganutnsistem ekonomi non pasar. Sejatinya, kedua sistem itu menjanjikan kemajuan. Demokrasi liberal menjanjikan kesetaraan politik dan Pemerintahan yang menjunjung kepentingan publik. Namun pada kenyataan nya yang terjadi illiberal demokrasi. ( David Bourchier, illiberal Democracy in Indonesia: The Idiology of Family State, dalam Luky Djani, Prisma, 2017) .
Disisi lain globalisasi dan ekonomi neoliberal menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Akan tetapi yang terjadi justru kesenjangan pendapatan , kepemilikan aset serta ketimpangan ekonomi. Ada bagian pendapat Luky Djani benar adanya jika melihat perkembangan ekonomi Indonesia selama 5 tahun ini dan bagaimana sebagian kelompok masyarakat menyikapinya dan menjadikan nya kekurang beruntungan dalam persaingan global menarik diri kedalam politik populis kanan. Gerakan ini semakin mendapatkan masa nya pada Pilpres 2019. Hal ini mesti diwaspadai agar kekecewaan terhadap kegagalan menghadapi globalisasi dapat menjadi bibit-bibit menguatkan politik identitas yang akan merusak sistem Politik berdasarkan Pancasila.
Politik dengan sistem Pancasila yang kita bangun dalam banyak hal seharusnya menguatkan demokrasi, menghargai perbedaan, keberagaman dalam kebhinekaan kita sebagai bangsa Indonesia. Jangan sampai Populisme dan politik identitas malah sebaliknya. jangan sampai menghancurkan kita. Inilah karunia Tuhan yang mesti kita syukuri. Demokrasi yang sudah berjalan baik mesti di rawat, dijaga agar tumbuh subur menghasilkan pemimpin yang berorientasi kemasyalakatan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan. Demokrasi yang kita tempuh sebagai jalan yang memberikan dan melahirkan generasi baru yang memajukan bangsa Indonesia.
Maka, seruan untuk melakukan rekonsiliasi pasca Pilpres 2019 dilakukan untuk mendinginkan suhu politik. Jangan sampai terjadi perpecahan pada bangsa ini. hal ini mesti terus diupayakan ditengah masih adanya beberapa pihak yang menolaknya, tapi upaya harus terus diserukan agar kita sebagai anak bangsa kembali menyatu melepaskan perbedaan dalam pilihan politik. Sebagai orang yang mengaku demokratis kita harus dapat menerima apapun hasil Pilpres dan Pemilu 2019, menang dan kalah dalam perhelatan adalah kelapang dadaan kita menerima atas pilihan rakyat. Kita mesti gentelmen untuk mengakui kekalahan. memberikan selamat bagi pemenang. Tidak melakukan upaya apapun untuk memaksakan kehendak, apalagi melakukan tindakan diluar hukum. Kesatuan dan keutuhan bangsa mesti diutamakan.
Setelah Pilpres dan pemilu 2019 kita telah dapat melihat hasil nya secara real count KPU, dan mari kita menanti hasil penghitungan secara manual dari KPU tanggal 22 Mei 2019. ini dijadikan cermin bahwa rakyat semakin cerdas memilih. Bagi yang telah memenangkan pilihan rakyat harus bersungguh-sungguh bekerja dan berjuang untuk kepentingan rakyat. Pemerintah pusat yang telah pembangunan infrastruktur yang telah dijalankan 5 tahun ini mesti dapat dilanjutkan secara menyeluruh, dikerjakan dengan pemanfaatan dan membangun koneksitas ekonomi yang dapat meningkatkan pertumbuhan kesempatan kerja, meningkatkan pendidikan dan kesehatan dan mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.
Tata kelola pemerintahan dari daerah , wilayah dan pusat mesti dilakukan satu kesatuan bukan parsial apalagi tanpa perencanaan yang matang. Jangan sampai ada ego sektoral, jangan daerah dibangun dengan ego otonomi daerah yang sempit hanya mengedepankan identitas kelompok: Jangan Mencederai harapan rakyat. Belajarlah dari hasil Pemilu 5 tahun lalu begitu banyak anggota dewan dan kepala daerah yang terjerat korupsi dan ditangkap KPK. janji adalah hutang. hutang mesti dibayar dengan kerja keras dalam membangun, mewujudkan cita-cita Proklamasi Indonesia. MERDEKA.
denpasar 050419