Ratusan massa krama adat Desa Pakraman Dharmajati, Desa Tukad Mungga, Kecamatan/Kabupaten Buleleng dengan aksi damai, pada Selasa (7/5) sekitar Pukul 10.00 Wita mendatangi Kantor Pengadilan Negeri (PN) Singaraja.
Ratusan massa krama adat Desa Pakraman Dharmajati, Desa Tukad Mungga, Kecamatan/Kabupaten Buleleng dengan aksi damai, pada Selasa (7/5) sekitar Pukul 10.00 Wita mendatangi Kantor Pengadilan Negeri (PN) Singaraja. Kehadirannya itu untuk menyampaikan aspirasi terkait lahan seluas 13,5 are yang ada di wilayah Pantai Happy desa setempat yang telah lama disertifikatkan oleh Wayan Angker.
Lahan ini berpolemik, telah melalui beberapa kali mediasi, terhitung sejak 2017 lalu. Hanya saja masih belum membuahkan hasil. Hingga akhirnya, krama desa adat bersama Wayan Angker menempuh jalur mediasi untuk yang ketiga kalinya di Kantor PN Singaraja.
Aksi damai yang dilakukan ratusan krama adat itu, sambil membentangkan spanduk di halaman Kantor PN Singaraja, yang bertuliskan pesan agar mafia tanah di Bali khususnya di Desa Pakraman Dharmajati Tukadmungga, Kecamatan/Kabupaten Buleleng ditindak tegas.
Sementara itu pada sisi lain, dalam proses hukum mediasi yang dilakukan secara tertutup, berlangsung hingga Pukul 12.30 Wita.
Bagaimana pengakuan Wayan Angker yang saat ini mengantongi sertifikat atas lahan tersebut? Ia mengaku dalam proses hukum ini, menyerahkan sepenuhnya kepada pihak PN Singaraja. “Lahan itu saya beli sejak Januari 1979 lalu dari almarhum Wayan Sari, warga asal Desa Pemaron yang bertempat tinggal di Desa Tukadmungga” ungkapnya.”Lahan itu kan konversi yangmana penguasaan tanah secara turun temurun oleh penjual sejak 80 tahun yang lalu. Itu tanah negara bukan tanah desa,” dalih Angker.
Pengakuan Wayan Angker ini terbantahkan oleh Kelian Desa Pakraman Dharmajati Tukadmungga, Ketut Wicana. Menurutnya, tanah itu sesungguhnya sudah dikuasai dan dimanfaatkan oleh desa adat untuk kegiatan upacara melasti secara turun temurun. “Di Tahun 2017, warga baru mengetahui jika tanah tersebut telah dimiliki dan disertifikatkan oleh Wayan Angker” terangnya.
Iapun mengakui bahwa pihak desa adat memang tidak memiliki bukti hukum berupa sertifikat. Namun di peta induk itu nyata, dimana tanah itu adalah daratan pantai. “Bukti dan saksi hidup masih ada semua, mereka bertempat tinggal di tempat yang kami perkarakan sekarang ini,” jelas Wicana.
Menurut Wicana, pihaknya melihat terdapat kejanggalan terkait proses kepemilikan sertifikat lahan atas nama Wayan Angker. Ia menduga ada oknum yang berbuat curang, sehingga lahan itu disertifikatkan. “Kami dari desa adat menggugat prosesnya kurang pas. Dan permohonannya pun berdasarkan konversi. BPN menyatakan lahan itu warisan, sedangkan pak Angker itu datangnya dari Bangli. Tidak ada hubungan alih waris. Lahan itu pasir bukan lahan produktif,” ucap Wicana.
Lantas seperti apa hasil mediasi yang dilakukan secara tertutup itu.
Wicana mengungkapkan bahwa dari hasil mediasi, dari Wayan Angker sendiri tetap ngotot dan mempertahankan lahan miliknya. Bahkan, Wayan Angker menawarkan tukar guling lahan seluas 6 are yang ada di Desa Tegallinggah. “Tawaran tukar guling ini, masih kami rundingkan dulu dengan warga desa. Mengingat lahan yang ditawarkan tukar guling Itu, tidak bisa dimanfaatkan untuk upacara keagamaan, karena lahan yang diberikan itu di desa lain,” terangnya.
Terhadap sengketa lahan ini, dari pihak Kepala Kantor BPN Buleleng, Gusti Ngurah Pariatna Jaya mengatakan bahwa dengan adanya sertifikat, hal itu berarti lahan itu adalah sah milik Wayan Angker. Sedangkan terkait masalah desa adat menyatakan hal itu adalah hak milik desa adat, maka harus dibuktikan. “Sekarang pembuktiannya melalui sidang di pengadilan. Kalau inkrah keputusan pengadilan, kami tinggal melaksanakan saja keputusan pengadilan itu,” ujar Pariatna Jaya.
Lebih lanjut dikatakan penerbitan sertifkat tersebut, sudah sesuai dengan mekanisme. Dimana syarat-syarat pembuatannya telah dipenuhi oleh Wayan Angker. “Jika persoalan ini nantinya sampai ke meja hijau, kami siap untuk memberikan penjelasan dan data terkait penerbitan sertifikatnya secara mendetail” ujarnya lagi.
Iapun menyebutkan membuat sertifikat ada kesaksian yang ditandatangi pihak desa. Kemudian ada petugas turun mengukur lahan, lalu diumumkan dua bulan di desa. “Ini untuk proses sertifikat lama” ungkapnya.”Dipersidangan nanti, kami akan buka data-datanya. Tapi apapun keputusan pengadilan, apakah tetap milik pak Angker atau sebaliknya, kami dari BPN akan melaksanakan putusan pengadilan itu,” tandas Pariatna Jaya.
Pewarta : Gus Sadarsana
Editor : Sutiawan