Penceramah Rahmat Baequni berbicara dalam acara “Tantangan Poligami di Akhir Zaman” di Bandung, Jumat malam, 12 Juli 2019. (VOA/Rio Tuasikal)
Penceramah Rahmat Baequni berbicara dalam sebuah acara poligami di Bandung, Jawa Barat, ketika berstatus tersangka kasus penyebaran hoaks. Dia sebelumnya juga menuding masjid rancangan Ridwan Kamil menyimbolkan illuminati.
Rahmat Baequni berbicara dalam “Tantangan Poligami di Akhir Zaman” yang digelar di Bandung, Jumat (12/7) malam. Dalam acara itu, ia tidak secara khusus menyinggung poligami namun menekankan pentingnya menjaga moral pada generasi muda.
“Setelah orang-orang yang sholeh ini hilang dan pergi, maka mereka juga dihilangkan. Apa akibatnya? Maka muncullah generasi-generasi yang buruk,” ujarnya di Masjid Baiturrahman, Batununggal.
Acara ini dihadiri sekitar 100 orang, sebagian lelaki dewasa muda, termasuk belasan perempuan. Kegiatan berupa ceramah dan seminar poligami di Kota Bandung telah beberapa kali muncul, misalnya Kelas Poligami Nasional pada Agustus 2018.
Angka poligami di Kota Bandung pada 2017 tercatat ada 112 kasus, berdasarkan catatan Pengadilan Tinggi Agama Kota Bandung. Angka itu mencapai 40 persen kasus perceraian karena poligami se-Jawa Barat yang mencapai 277 kasus. Di Bandung, poligami jadi penyebab perceraian nomor empat setelah perselisihan terus menerus, faktor ekonomi, dan meninggalkan salah satu pihak.
Dalam acara pekan lalu, Rahmat Baequni berbagi panggung dengan Edwin Sanjaya, Wakil Ketua DPRD Bandung, yang dikenalkan sebagai ‘praktisi poligami’.
Politisi Golkar itu meminta perempuan menerima poligami ketika umat Islam ‘sedang diobok-obok’.
“Tapi yang lebih penting sebenarnya ini untuk menjawab tantangan, terutama untuk ibu-ibu. Saat ini umat Islam sedang diobok-obok. Merasa nggak? Merasa nggak?” ujarnya.
Pakar: Poligami Menghalangi Tujuan Pernikahan dalam Islam
Namun pendapat itu dibantah oleh Komisioner Komnas Perempuan, Nina Nurmila. Pakar gender dan studi Islam ini mengatakan, praktik poligami justru mencoreng citra agama Islam. Apalagi, ujarnya, ketika Islamophobia masih terasa di negara-negara Barat.
“Karena Islam itu kan agama yang pro-keadilan ya. Nah, kalau misalnya umat muslimnya itu pada berpoligami itu nanti semakin dituduh bahwa orang muslim itu sangat diskriminatif terhadap perempuan. Karena memang poligami itu merupakan tindakan diskriminatif kepada perempuan,” ujarnya ketika dihubungi VOA.
Nina menekankan, poligami bertolak belakang dengan tujuan pernikahan di dalam Islam. Tujuan itu adalah ketenangan, cinta, dan kasih sayang, yang dikenal dengan frasa sakinah, mawaddah, warahmah.
“Kalau berpoligami itu jauh dari tercapainya sakinah, ketenangan. Bagaimana seorang istri merasa tenang kalau dia membayangkan suaminya berduaan dengan perempuan lain? Kemudian ada banyak rasa cemburu, itu kan menjadikan keluarga itu tidak sakinah,” paparnya.
Hal itu, kata Nina, sudah diungkap dalam Al Quran. “Engkau tidak akan pernah berbuat adil, walaupun engkau menginginkannya. Itu dalam surat An-Nisa ayat 129,” imbuhnya.
Penulis buku ‘Women, Islam and Everyday Life’ ini menekankan, seorang ahli tafsir Islam telah mengharamkan poligami.
“Awal abad ke-20 tuh Muhammad Abduh dalam tafsir Al Manar sudah mengharamkan poligami. Tapi jarang dipopulerkan di Indonesia…. Artinya bahwa poligami itu pasti harus diharamkan karena kekhawatiran tidak adanya keadilan,” imbuhnya.
Rahmat Baequni Ceramah Ketika Berstatus Tersangka
Rahmat Baequni terus aktif berceramah di tengah statusnya sebagai tersangka hoaks. Rahmat ditangkap personel Polda Jabar akhir Juni lalu karena berceramah soal petugas KPPS meninggal akibat racun. Informasi yang tidak teruji itu dia sampaikan dalam sebuah ceramah di Kabupaten Bandung usai pemungutan suara Pilpres 2019.
Atas ceramahnya, Rahmat dijerat pasal berlapis yaitu Pasal 14 ayat (1) dan/atau Pasal 15 UU nomor 1 tahun 1946 terkait berita bohong yang merugikan pihak lain. Rahmat juga dijerat pasal Pasal 45 ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait berita bohong dan/atau Pasal 207 KUHPidana terkait penghinaan terhadap penguasa.
Meski begitu, polisi tidak langsung menahan Rahmat karena ancaman hukumannya di bawah lima tahun. Rahmat tetap dapat beraktivitas seperti biasa asalkan tidak mengulangi perbuatannya selama kasusnya diproses. [rt/uh] (VOA Indonesia)