Foto: Ketua DPD Partai Demokrat Bali I Made Mudarta bersama Ketua Dewan Kehormatan DPD Partai Demokrat Bali Putu Suasta yang juga mantan Ketua Bappilu DPP Partai Demokrat.
Balinetizen, Denpasar
Ketua DPD Partai Demokrat Bali I Made Mudarta menyebutkan Pileg (Pemilu Legislatif) 2019 khususnya di Bali menjadi Pemilu yang paling “brutal” dan “abnormal”. Sebab yang berkuasa mengantarkan seorang caleg terpilih adalah jor-joran dana bansos (bantuan sosial).
“Ini Pileg paling brutal dan abnormal. Kebanyakan caleg yang tidak terpilih sebut pemenang pemilu adalah bansos. Pileg kali ini partai bansos jadi juaranya,” kata Mudarta saat ditemui di Kantor DPD Partai Demokrat Bali, di Renon, Denpasar, Kamis sore (18/4/2019).
Didampingi Ketua Dewan Kehormatan DPD Partai Demokrat Bali Putu Suasta yang juga mantan Ketua Bappilu DPP Partai Demokrat, Mudarta mengungkapkan fakta di lapangan ditemukan bahwa caleg yang terpilih lebih karena jor-joran membawa dana bansos. Misalnya untuk pembangunan pura atau balai banjar yang digelontor puluhan hingga ratusan juta.
Bahkan, parahnya lagi ditemukan di lapangan bahwa dana bansos ini tidak hanya dibawa atau difasilitasi caleg petahana tapi juga oleh caleg pendatang baru yang di-backup oleh penguasa setempat seperti misalnya Bupati.
“Siapa yang bawa bansos, itu dipilih masyarakat. Basis suara caleg digempur dengan bansos sang lawan. Sudah sekian lama basis suara dirawat tapi diserbu badai tsunami bansos yang tidak bisa ditandingi uang pribadi. Maka mereka yang tidak terpilih bilang pemenang pemilu adalah bansos,” ungkap Mudarta.
Tersandera Bansos, Rakyat Belum Merdeka dalam Memilih
Ketika pilihan masyarakat lebih karena tekanan dan tersandera bansos bukan karana kapabilitas (kemampuan) caleg memperjuangkan aspirasi rakyat, bukan juga karena visi misi atau rekam jejak caleg, maka pada saat itu pula kata Mudarta sebenarnya rakyat belum merdeka dalam menentukan pilihannya.
“Rakyat memilih bukan berdasarkan visi misi tapi berapa hibah bansos yang diterima dari caleg. Lembaga survei juga bilang hanya satu persen pemilih yang memilih karena visi misi caleg. Ini tentu tidak sehat untuk demokrasi kita,” ujar Mudarta.
Politisi Demokrat asal Jembrana itu menambahkan ke depan pola politik yang mendewakan bansos sebagai senjata pendulang suara harus dihentikan. Caranya penyaluran hibah bansos harus dikembalikan sesuai kewenangannya di eksekutif.
Jangan sampai anggota legislatif malah ikut mengeksekusi anggaran. Seperti lewat ikut memfasilitasi bansos hibah dan punya kewenangan menentukan siapa yang berhak menerima. Yakni hanya konstituennya dan ujung-ujungnya jadi alat bargaining politik untuk mendulang suara ketika Pileg tiba.
“Tidak boleh anggota legislatif, DPRD ikut eksekusi anggaran. Ke depan penyaluran hibah bansos harus dikembalikan ke eksekutif,” tandas Mudarta.
Di sisi lain Mudarta menilai coat tail effect (efek ekor jas) dari capres Jokowi tidak terlalu signifikan terhadap perolehan suara partai pengusung utamanya yakni PDI Perjuangan termasuk partai pengusung lainnya.
Buktinya pada Pileg 2019 perolehan suara PDI Perjuangan secara nasional berdasarkan hasil quick count (hitung cepat) di kisaran 20 persen lebih. Sementara pada Pileg 2104, suara PDI Perjuangan di angka 18,95 persen.
Padahal sebelum pencoblosan Pileg 2019 sejumlah lembaga survei menempatkan elektabilitas dan perolehan suara partai besutan Megawati Soekarnoputri ini di kisaran lebih dari 26 persen bahkan ada lembaga survei yang menempatkan di atas 30 persen. Salah satunya diprediksi juga karena Jokowi Effect.
“Jadi coat tail effect dari Jokowi untuk PDI Perjuangan tidak ada. Dulu di Pileg 2014 mendekati 19 persen, sekarang di angka 20 persen. Ini kan tidak ada peningkatan signifikan,” pungkas Mudarta. (wid)